The Diary of a Chosen Principal: The Gift of Tears

Disclaimer: tulisan ini adalah late publish dan ditulis sebulan sebelum masa jabatan menjadi kepsek. Aku tulis setelah dapat saran dari suami. Katanya supaya aku gak galau lagi. Ini adalah tulisan keempat.

Tulisan pertama bisa dibaca di sini.
Tulisan kedua bisa dibaca di sini.

Tulisan ketiga bisa dibaca di sini.

Tulisan ini aku set untuk published automatically on Friday, July 4th, 2025, tepat pada hari keempat aku secara resmi menjabat sebagai kepsek.

"Don't cry," people often told me. "Ojok nangis, Miss." Especially now, as a principal, I felt an even stronger need to hold back. I must not cry.

Bisa menangis lepas dan lama itu suatu privilege. Kadang aku rindu jadi anak kecil yang bisa nangis sepuasnya, setelah itu lupa sama sekali. Masalah beres begitu saja hanya dengan satu pelukan. Selesai. Tapi sekarang untuk menangis aja sudah tidak semudah itu. Somehow, it feels forbidden. Masih bisa diterima kalau hanya setetes air mata, tanpa isakan. Dalam waktu singkat, bukan waktu yang lama. With only one or no one to see. It's just not okay, not appropriate for me to cry. Padahal aku ini banyak berekspresi dengan tangisan. Senang, sedih, terharu, marah, shock, hampir semua emosi pakai tangisan.

Beberapa tahun lalu setelah pertunangan, mamaku jelaskan betapa mudahnya aku menangis ke calon mama mertua dan calon suamiku. Supaya mereka paham dan ga kaget kalau sudah tinggal bareng. Sekarang setelah hampir 7 tahun pernikahan, aku bersyukur mereka paham dan bisa menerima kalau aku ini gampang nangis.

Namun, tetap saja.... Sulit untuk tidak menangis pada masa-masa seperti ini. "Ada kegentaran besar," kata kepsekku yang juga memahami perasaanku. She's been there.

Besides fear and apprehension, I've also cried tears of gratitude and encouragement many times. God's Word and several worship songs have repeatedly strengthened and affirmed me, bringing me to tears.

Minggu, 1 Juni 2025 lalu aku pelayanan sebagai singer di gereja. Rekan WL yang melayani pilih lagu berjudul Indahnya Kasih Tuhan. Air mataku mengalir deras. Aku tutup mata sambil nyanyi.

Sungguh ga kebayang sama sekali bisa sampai di titik ini. Aku jadi kepsek bukan karena aku hebat. Secara usia aku leader termuda, belum genap 35 tahun, pengalaman paling dikit, apalagi aku baru 7 tahun di sekolah ini. Sekarang masuk tahun kedelapan. Padahal guru-guru lain sudah melayani 10 tahun lebih, bahkan ada yang udah lebih dari 20 tahun. Jadi beneran semua karena Dia yang menyertai, yang teramat baik dan mengasihiku. Itu air mata pertama sepanjang bulan Juni.

Tentu saja ada air mata kedua dan seterusnya. Apalagi aku sempat menekan perasaanku sendiri karena berpikir aku ga seharusnya menangis.

Sabtu, 14 Juni 2025 aku ikut seminar di sekolah tentang Gaya Hidup Teduh. Diajarin sama pembicaranya untuk self therapy kalau lagi overthinking. Goyangkan badan pelan-pelan. Humming lagu I Have Decided to Follow Jesus dengan lembut. Lalu tepuk diri sendiri sambil bilang, "Novi, kamu aman. God is in control." Kayak gitu diulang beberapa kali.

Air mataku langsung terjun bebas. Aku sampai lari ke toilet buat menghentikan air mata. Ga sampai 2 menit aku sudah balik lagi ke aula, as if nothing happened

Setelah seminar, kepsekku ngajak ngobrol di ruangannya. Awalnya buat sesi coaching. Lalu setelah selesai, beliau bilang seperti yang dikatakan saat seminar. "Miss Novi, kamu aman." Jebol lagi deh pertahananku. Beliau kasih aku ruang dan waktu untuk nangis. Itu tangisan kedua di ruangannya, yang saat tulisan ini di-publish jadi ruanganku juga.

Tuhan ga janji ada hari tanpa air mata ketika Dia panggil aku jadi kepsek. Malah sepertinya air mata itu pasti ada dan mungkin banyak. "Guncangan itu pasti," kata kepsek SD.

Selain guncangan karena pergantian pemimpin, ada isu lain lagi. Loneliness. Koordinator sekolah juga sudah ngomong duluan kalau aku juga harus deal dengan loneliness. Kepsek kayaknya punya banyak orang, tapi sebenernya sering sendiri. My former principal echoed this: "That's the hardest part."

Aku biasa mandiri. Sendirian bukan masalah buatku. 
Tapi kesepian selalu menakutkan. Rasa ditinggalkan akan selalu menyeramkan dan menyakitkan. "Tapi kamu ga akan sendiri kok, Miss," sambung kepsek SD, menguatkanku.

Minggu, 15 Juni 2025 lalu di gereja Firman Tuhan juga menguatkan aku.
Yesaya 43:2 (TB)  Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau, atau melalui sungai-sungai, engkau tidak akan dihanyutkan; apabila engkau berjalan melalui api, engkau tidak akan dihanguskan, dan nyala api tidak akan membakar engkau. 
Ada air yang harus disebrangi. Ada sungai-sungai yang menghanyutkan. Ada api yang menghanguskan dan membakar.  Singkatnya, ada aja bahaya dan kesulitan yang harus aku hadapi. Tapi Tuhan berjanji bahwa Dia akan selalu menyertai. "Gapapa nangis, Miss," kata kepsekku saat itu. "Yang penting kita selalu pegang janji Tuhan."

Setelah koordinator mengumumkan pergantian kepsek pada 18 Juni 2025 lalu, aku lebih banyak menangis lagi. Karena gejolak yang timbul setelah pengumuman, kegentaran, rasa tidak berdaya, rasa haru, rasa lelah karena menahan emosi, dan entah apa lagi. Mixed feelings. Sabtu siang, 21 Juni 2025, aku konseling dan makin banyak menangis lagi. Kali ini sampai mataku bengkak.

"It's okay to not be okay, maybe you've heard this," kata konselorku, yang membiarkanku menghabiskan sekitar setengah isi kotak tissue-nya.  Yes, I cried a lot and was encouraged to do so. Walaupun gampang menangis, tapi selama ini sudah terlalu lama dan terlalu sering aku blocked air mataku sendiri. Hati dan pikiranku langsung blokir semua emosi yang menunjukkan kerapuhan, kelemahan, kekecewaan, kemarahan, dan perasaan-perasaan negatif lainnya. Somehow, I had to be strong, not allowing myself to be broken. Ini sudah terjadi bertahun-tahun, mungkin lebih dari 20 tahun, kata konselorku.

Aku punya PR untuk bereskan emosi-emosi yang belum selesai. Bahkan perlu menangis lebih banyak, untuk menggantikan tangisan-tangisan yang terhenti, terblokir, dan terlarang selama ini. Crying is okay, even for someone who is expected to be strong. Dalam tangisan ada air mata yang membersihkan lubuk hati, kata seorang rekan waka. Entah butuh waktu berapa lama untuk aku jalani sesi konseling secara berkala, karena jelas kompleks dan banyak luka yang belum sempat diproses. Firman Tuhan saja tidak cukup tanpa penanganan yang tepat. Grieving is needed too. Healing takes a lot of tears. It's a gift.

Jadi gapapa kok aku nangis. Kadang memang aku lemah, rapuh, broken. Leaders are human too. Memang ga sempurna. Normal kalau aku terbeban berat dan merasa tidak kuat. Orang hidup dan bertahan dengan air mata juga. Pilihan untuk membiarkan diri menangis bisa jadi justru merupakan keputusan terbaik untuk menghadapi konflik dan tantangan hidup. Quelling my emotions will only make things worse.

Rasanya lega setelah banyak menangis sepanjang siang itu, baik di ruangan konseling maupun dalam pelukan suami. Seperti ada beban berat yang diangkat, walaupun pada saat yang sama ada luka-luka yang dibuka. Tapi kini tidak ada lagi penghalang untuk aku ekspresikan perasaan-perasaanku. Untuk pertama kalinya setelah sekian tahun hidup dan bertahan menghadapi berbagai persoalan, menangis jadi sebuah hadiah bagi diriku sendiri. Vulnerability is not a weakness; it often leads to healing.

Waktu untuk menangis adalah kesempatan untuk melihat diri apa adanya tanpa ada yang ditutupi, seperti seekor ikan yang transparan. X-ray fish namanya. Yang penting bukan apa yang terlihat dari luar, melainkan apa yang ada di dalam. Ziarah batin ini membawa pada kejernihan, menyingkapkan jati diri yang sebenarnya.

Comments

Popular posts from this blog

Melupakan Mantan Pacar

Ketika Kita Tidak Dimaafkan

When Your Pastors Fall