Wednesday, October 7, 2015

Bantu Kami Bernapas

Saat ini sudah memasuki minggu ke-7 sejak asap kembali memenuhi udara kota Palembang. Bukan hanya Palembang, melainkan juga seluruh provinsi Sumatera Selatan, Riau, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan. Tidak banyak orang yang bisa evakuasi ke luar dari provinsi tempat mereka tinggal. Kehidupan terus berjalan di tengah-tengah tebalnya asap. Berbagai usaha telah diupayakan, doa-doa pun telah dipanjatkan. Namun kami (korban bencana asap) butuh pertolongan dari saudara-saudari setanah air.

Roma 15:1 (TB)  Kita, yang kuat, wajib menanggung kelemahan orang yang tidak kuat dan jangan kita mencari kesenangan kita sendiri.

Tuesday, September 29, 2015

I Wish I Could..

"I wish I could play in the playground..."

Saya mendongak ketika seorang gadis kecil, salah seorang siswa saya yang paling pendiam, mengatakan kalimat tersebut. Sudah sebulan lebih, sekitar 5 minggu ini saya tidak mengajak anak-anak bermain di luar karena tebalnya asap di kota Palembang. Saya melihat keluar jendela sekilas sebelum menyahut, "Me too."

Tahun ini intensitas asap memang jauh lebih tebal. Sudah termasuk kategori yang sangat berbahaya. Batas normal konsentrasi partikular (PM10) adalah 150 ugram/m3. Sementara siang tadi peningkatannya sudah mendekati angka 800. Menggelisahkan.

Sudah hampir 6 minggu ini saya sakit batuk-batuk juga, sampai sesak napas, bahkan nyeri dada. Amandel meradang, bahkan masih tetap bengkak walaupun sudah tidak sakit lagi. Antibiotik, obat batuk, jeruk nipis, madu, sampai kumur-kumur air garam juga tidak mempan. "Nggak papa," kata dokter. "Cuma alergi asap. Nanti kalau obat sudah habis masih belum sembuh, balik lagi aja, kita ronsen dada." Saya menghembuskan napas dengan rasa tidak puas. Apanya yang nggak papa? "Amandelnya masih sakit nggak? Coba ke dokter THT, mungkin perlu operasi." Saya menatapnya dengan jengkel, yakin betul tidak butuh operasi amandel.

Berkali-kali terbesit pikiran untuk meninggalkan kota ini. "Coba kalau sekarang aku pulang, pasti langsung sembuh. Pasti." Tapi ternyata melakukannya tidak semudah memikirkannya. Mengatakannya lebih mudah, namun menambah kesusahan dalam hati. Mendengar orang lain mengatakannya seperti menambah titik api yang memicu kemarahan.

"Tulis surat lah ke yayasan. Minta pindah."

"Setiap hari Mama kuatir sama kamu."

"Kamu tuh harusnya tulis petisi, ajak guru-guru lain juga. Kalau cuma satu orang yang komplain apa artinya? Harus sepakat semuanya."

"Iya tahu. Harusnya kita itu menyamakan suara."

"Iya nih, kita butuh evakuasi."

"Memangnya pemerintah akan bilang, 'ayo evakuasi' gitu? Nggak mungkin!"

"Kemarin aja bandara lumpuh. Si Esmeralda belum balik-balik dari Jakarta. Gimana mau terbang? Asepan gitu."

"Kalau gini ceitanya gua ga mau balik lagi ke Palembang. Bodo amat!"

Entahlah. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Rasanya supply oksigen ke otak juga sudah berkurang. Mikir aja susah. Sepertinya ada asap yang bukan saja mengganggu pernapasan, tapi juga pikiran dan hati. Setiap kali membawa perkara ini dalam doa, saya tidak tahu lagi harus berkata apa. Doakan pemerintah sudah, doakan supaya pelaku pembakaran ditangkap dan diganjar hukuman seberat-beratnya juga sudah. Doa minta hujan pun sudah. Apa lagi? Dunia saya makin berkabut. Makin sulit untuk melihat dengan jelas ketika kabut asap menghalangi pemandangan. Berkat dan anugerah Tuhan pun makin kabur kelihatannya.

Saya membuka map folder absensi siswa dan mengisinya. Dua siswa tidak masuk. Yang satu sakit gondongan, yang lain "diliburkan" oleh orang tuanya karena asap tebal. Sementara itu tiga siswa lain ngotot minta masuk sekolah sekalipun sudah tidak enak badan. "Kalau nanti kenapa-kenapa, tolong telepon ya, Miss. Biar bisa saya jemput." Sepanjang ingatan saya mereka kelihatan baik-baik saja, cukup ceria di sekolah.

Saya teringat percakapan di telepon beberapa hari lalu dengan Mama.
"Anak-anak di sekolah sehat?"
"Sehat tuh," jawab saya. "Kayaknya cuma gurunya yang sakit (batuk-batuk)." Bukankah ini pun berkat perlindungan, kekuatan, dan kesehatan dari Tuhan? Anak-anak yang tubuhnya lebih kecil dan rentan penyakit justru sehat-sehat. Gurunya yang batuk-batuk selama 6 minggu juga masih bisa mengajar.

Lalu saya merasa Roh Kudus mengingatkan.

"Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." -1 Tesalonika 5:18

Saya menghela napas dan menghembuskannya lagi. Tolong saya ya, Tuhan. Tolong saya untuk mengucap syukur dalam kota yang berasap ini, batuk yang tak kunjung henti, dan sesaknya dada karena menghirup asap.

Sunday, August 2, 2015

Outfit Of The Day

Sebagai perempuan muda yang normal, seringkali saya merasa tidak punya baju, sekalipun saya tahu ada banyak orang di luar sana yang bajunya cuma sepotong dua potong. Berulang kali saya kuatir, mau pake baju apa ya? Kok kayaknya koleksi saya kurang fabulous, kurang fashionable. Tapi nggak mungkin juga saya shopping baju tiap bulan. Banyak kebutuhan lain yang jauh lebih penting daripada baju.

Sadar tidak sadar, rasanya baju yang saya kenakan menentukan apakah saya tampil cantik atau tidak. Lalu saya menjadi kuatir kalau baju saya biasa-biasa, modelnya bukan yang lagi booming. Kan kelihatannya gimana gitu. Apalagi saya ini guru. Mesti tampil cantik dong di depan ortu murid.
Jauh sebelum saya atau perempuan-perempuan lain kuatir akan apa yang akan kita kenakan, Tuhan Yesus sudah ngomong duluan. Dia sudah bahas isu ini. 

Matius 6:28-30 (TB)  Dan mengapa kamu kuatir akan pakaian? Perhatikanlah bunga bakung di ladang, yang tumbuh tanpa bekerja dan tanpa memintal,
namun Aku berkata kepadamu: Salomo dalam segala kemegahannya pun tidak berpakaian seindah salah satu dari bunga itu. Jadi jika demikian Allah mendandani rumput di ladang, yang hari ini ada dan besok dibuang ke dalam api, tidakkah Ia akan terlebih lagi mendandani kamu, hai orang yang kurang percaya?


Waktu saya membaca dan merenungkan ayat di atas, ada beberapa berkat yang saya dapatkan:

1. Tuhan tahu dan peduli akan concern saya tentang pakaian.
Wow! Saya tidak pernah berpikir bahwa Tuhan peduli tentang hal remeh seperti ini. But nothing is too tiny for His care! Kalau bagian kecil dan sepele seperti pakaian saja Bapa kita di surga begitu peduli, apalagi seluruh hidup kita! Dia bukan saja peduli, melainkan telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa melainkan beroleh hidup yang kekal! Praise Him!

2. Tuhan mau mendadani engkau dan aku.
Seorang make up artist cuma mau mendadani saya kalau dibayar. Tapi Tuhan semesta alam mau mendadani saya secara gratis! Karena memang tidak seorangpun bisa membayar-Nya kan? Dan kalau Dia yang mendadani, tidakkah hasilnya jauh lebih cantik daripada yang bisa dilihat oleh mata kita? Saya percaya kalau Tuhan yang mendadani, seorang perempuan akan terlihat sangat cantik walaupun dia sudah keriput.

3. Ternyata saya orang yang kurang percaya.
Come on, does it make sense that The Gos of the universe would like to care on my clothing? Sama sekali tidak masuk akal rasanya kalau Tuhan benar-benar peduli. Padahal kalau saya mau lihat-lihat lagi koleksi baju yang ada di lemari, mulai dari baju tidur sampai baju pesta tuh ada sekitar 16 potong baju yang tidak saya beli. Semuanya pemberian yang saya percaya datangnya dari Tuhan, melalui keluarga dan teman-teman dekat. Bukti pemeliharaan Tuhan sudah ada di lemari, tapi seringkali saat membuka lemari baju, saya merasa tidak punya baju. Sampai di sini saya merasa malu di hadapan Tuhan, kok bisa-bisanya saya mengeluh tidak punya baju? Waktu saya nggak bisa shopping baju, Tuhan kirimkan. Tiba-tiba dapat baju baru. Ada berkat yang tidak terduga-duga.

4. Tuhan tidak ingin saya cantik secara lahiriah saja, Dia juga ingin saya cantik secara rohani.
Tuhan ingin saya percaya kepada-Nya. Dia ingin saya mencari dahulu kerajaan Allah dan kebenaran-Nya.
Matius 6:31-34 (TB)  Sebab itu janganlah kamu kuatir dan berkata: Apakah yang akan kami makan? Apakah yang akan kami minum? Apakah yang akan kami pakai?
Semua itu dicari bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu yang di sorga tahu, bahwa kamu memerlukan semuanya itu.
Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu.
Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari."
Bagaimana saya bisa semakin cantik dengan mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya?
Seseorang yang mengasihi saya dan berkata bahwa saya cantik di matanya, meminta saya membaca Amsal 31:10-31. Saya menemukan jawabannya pada ayat ke 30.
Amsal 31:30 (TB)  Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan TUHAN dipuji-puji.

5. Tuhan ingin saya awet muda dan sehat.
Cantik biasanya erat kaitannya dengan awet muda. Kulit wajah kencang walaupun sudah berusia 50 tahun lebih. Apa rahasianya? Salah satu rahasianya adalah hati yang tenang dan tidak takut akan masa depan. Kalau saya terus kuatir akan baju yang akan dipakai, mungkin saya sudah keriput saat berusia 30 tahun karena terlalu banyak mengerutkan wajah setiap kali membuka lemari baju. Selain itu orang yang banyak kuatir biasanya lebih mudah terserang penyakit. Saya percaya Tuhan tidak ingin umat-Nya mengalami penyakit yang mestinya tidak perlu terjadi. Oleh sebab itu berkali-kali kita temukan di Alkitab Tuhan berfirman, "Jangan kuatir!"

6. Apa yang Tuhan sediakan sudah cukup.
Sebenarnya saya punya cukup pakaian, walaupun tidak se-fancy yang saya harapkan. Namun itu saja cukup. Kalau Tuhan sudah berikan cukup, maka saya harus bersyukur! Siapa saya sehingga layak menerima berkat Tuhan? Tidak ada yang lebih baik daripada merasa cukup (content).

Sunday, May 17, 2015

Telah Kudengar doamu dan telah Kulihat air matamu

"Baliklah dan katakanlah kepada Hizkia, raja umat-Ku: Beginilah firman TUHAN, Allah Daud, bapa leluhurmu: Telah Kudengar doamu dan telah Kulihat air matamu; sesungguhnya Aku akan menyembuhkan engkau; pada hari yang ketiga engkau akan pergi ke rumah TUHAN. (2 Raja-raja 20:5)

Ayat ini adalah salah satu favorit saya. Firman Tuhan begitu indah menyentuh hati Raja Hizkia yang saat itu sedang sakit keras bahkan sebelumnya Tuhan berkata bahwa ia tidak akan sembuh, melainkan mati. Saya membayangkan apa yang mungkin dirasakan oleh Raja Hizkia.

Saturday, May 2, 2015

The Danger of Not Standing on the Promises of God

A fatherless, an ordinary official was chosen as a king over ten tribes of Israel. The LORD God Himself promised to Jeroboam. The Lord would like to build him a dynasty as enduring as the one He built for David and would give Israel to him. Even He would humble David's descendants because of this, but not forever. It was a great honor and grace, what a perfect promised blessing that Jeroboam got from the Lord!

"However, as for you, I will take you, and you will rule over all that your heart desires; you will be king over Israel. If you do whatever I command you and walk in my ways and do what is right in my eyes by keeping my statutes and commands, as David my servant did, I will be with you. I will build you a dynasty as enduring as the one I built for David and will give Israel to you. I will humble David's descendants because of this, but not forever." (1 Kings 11:37-39)

Although the Lord had fulfilled His promises when Israel made him king over all Israel, Jeroboam did not stand on His promises. Instead of thanking God and walk in His ways, Jeroboam had his own mind.

Jeroboam thought to himself, "The kingdom will now likely revert to the house of David. If these people go up to offer sacrifices at the temple of the LORD in Jerusalem, they will again give their allegiance to their lord, Rehoboam king of Judah. They will kill me and return to King Rehoboam. (1 Kings 12:26-27)

Jeroboam felt insecure regarding his own throne. He did not realize that his throne was God's given gift. Then no one could take his throne without God's permission. Feeling insecure, Jeroboam did not seek God but advice from his people. Then he made two golden calves to be worshiped, so the Israelites did not need to go up to Jerusalem anymore.

From what Jeroboam did, we can see the danger of not standing on the promises of God.

Tuesday, April 28, 2015

How Faithful is our Lord!

Time keeps going. Two years has passed since I lost my dad and I feel thankful today. I woke up quite early this morning and had more time to pray and lift up praises. These twenty four past months, The Lord has been so faithful. I tried to count on The Lord's blessings, guidance, provisions, and answers along these two years. There were soooooooo much from the Lord that if I could give thanks for each matter, I would be late to work today. Hehehe...

Monday, April 6, 2015

Meditation on Psalm 130

Psalm 130
A song of ascents.

1 Out of the depths I cry to you, LORD; 2 Lord, hear my voice. Let your ears be attentive to my cry for mercy.

The psalmist cried for mercy.
When I read these two verses, I felt a strong conviction that it is very important for us to cry for mercy.

Why should we cry for mercy?

3 If you, LORD, kept a record of sins, Lord, who could stand? 4 But with you there is forgiveness, so that we can, with reverence, serve you.

We all have sinned and we are sinners.
Who could stand before the Lord? Who could serve Him?

But there is forgiveness!
If the LORD forgives us, we can, with reverence, serve Him!

We? Yes. We!
The Lord wants us to not be selfish by praying for ourselves. He wants us to pray for others too. Pray and cry for mercy for there is forgiveness with the Lord, so that we (our family, friends, even the whole nation) with reverence, serve the Lord.

How long should we pray? How many days?

The psalmist wait for the Lord and put his hope in the Lord.

5 I wait for the LORD, my whole being waits, and in his word I put my hope. 6 I wait for the Lord more than watchmen wait for the morning, more than wait for the morning.

There are 5 words of wait. Like it or not, we need to wait. For how long? Until we see God's work through our prayer. Until the people we pray for get their redemption in Christ. Until they stand with reverence to serve the Lord, along with us.

7 Israel, put your hope in the LORD, for with the LORD is unfailing love and with him is full redemption. 8 He himself will redeem Israel from all their sins.

This is our hope, that the Lord Himself is able and willing to redeem His people.

Let us be persevere while we are waiting, crying, and praying to the Lord for mercy and redemption. Let us not be weary but keeping those people around us in our prayers.

Thursday, April 2, 2015

Berbuat Apa Yang Benar Di Mata Tuhan

Siapa yang tidak mau meningkatkan taraf kehidupan? Setiap orang dari segala zaman bekerja dan berjuang untuk meningkatkan taraf kehidupannya. Demikian pula seorang yang bernama Elimelekh pada zaman para hakim memerintah di Israel.

Rut 12:1-2
Pada zaman para hakim memerintah ada kelaparan di tanah Israel. Lalu pergilah seorang dari Betlehem-Yehuda beserta isterinya dan kedua anaknya laki-laki ke daerah Moab untuk menetap di sana sebagai orang asing. Nama orang itu ialah Elimelekh, nama isterinya Naomi dan nama kedua anaknya Mahlon dan Kilyon, semuanya orang-orang Efrata dari Betlehem-Yehuda; dan setelah sampai ke daerah Moab, diamlah mereka di sana.

Wajar kalau seorang kepala keluarga lantas memutuskan untuk membawa keluarganya pindah agar mereka bisa tetap sejahtera. Siapa tahu di Moab mereka bisa berusaha dan berhasil. Siapa tahu kelak mereka bisa pulang ke Israel dengan membawa buah-buah yang manis hasil kerja keras mereka di Moab.

Wednesday, March 11, 2015

Bagian Orang Asing, Anak Yatim, dan Janda

Pagi ini saya membaca Ulangan 24:6-22 sebagai bahan saat teduh. LAI memberi judul perikop ini, "Tentang melindungi sesama manusia." Dalam perikop ini Firman Tuhan mengajarkan bagaimana kita harus melindungi orang-orang di sekeliling kita, termasuk mereka yang merupakan orang asing dan orang yang berhutang kepada kita. Menurut saya ini suatu detil mengenai hal-hal konkret yang Tuhan ingin kita lakukan sebagai suatu cara melakukan isi hukum Taurat, yaitu mengasihi sesama manusia.

Bagian yang paling menarik hati saya ada dalam Ulangan 24:19-21. Tuhan mengatur apa yang menjadi bagian orang asing, anak yatim, dan janda.

Apabila engkau menuai di ladangmu, lalu terlupa seberkas di ladang, maka janganlah engkau kembali untuk mengambilnya; itulah bagian orang asing, anak yatim dan janda--supaya TUHAN, Allahmu, memberkati engkau dalam segala pekerjaanmu. Apabila engkau memetik hasil pohon zaitunmu dengan memukul-mukulnya, janganlah engkau memeriksa dahan-dahannya sekali lagi; itulah bagian orang asing, anak yatim dan janda. Apabila engkau mengumpulkani hasil kebun anggurmu, janganlah engkau mengadakan pemetikan sekali lagi; itulah bagian orang asing, anak yatim dan janda.

Pada zaman itu, orang-orang Israel diberkati Tuhan dengan mempunyai ladang, pohon zaitun, bahkan kebun anggur. Melalui usaha mereka ini, Tuhan telah mengatur apa yang menjadi bagian orang asing, anak yatim, dan janda. Yaitu berkas yang terlupakan, dahan-dahan yang tidak diperiksa lagi, serta buah anggur yang belum dipetik setelah hasil kebun dikumpulkan.

Ketika saya memikirkan seberapa banyak seberkas tuaian di ladang, hasil pohon zaitun yang masih tertinggal di dahan-dahannya, serta buah anggur yang belum terpetik pada saat pengumpulan hasil kebun, tampaknya tidak banyak yang tersisa. Hanya sebagian kecil. Apalagi kalau pemiliknya cukup teliti saat menuai hasil usaha mereka, maka yang tersisa semakin sedikit.

Dari yang sedikit inilah Tuhan berikan kepada orang asing, anak yatim, dan janda. Tuhan tidak minta banyak, hanya yang terlupakan dan yang tersisa. Bukan suatu hal yang sulit, kan?

Firman ini mungkin tampak tidak relevan dengan kehidupan kita saat ini. Saya yakin hampir setiap orang yang membaca tulisan ini tidak bekerja di ladang, menanam pohon zaitun, atau bahkan punya kebun anggur. Tapi kita semua bekerja. Baik itu wiraswasta ataupun karyawan. Kita punya penghasilan dan upah hasil kerja.

Ketika saya merenungkan ayat 19-21 tersebut, saya merasa bahwa Firman ini justru sangat relevan dengan kehidupan kita sekarang. Kita yang punya penghasilan tetap setiap bulan adalah orang-orang yang diberkati Tuhan. Kita diberi kecukupan. Walaupun bukan kaya raya, namun hidup kita cukup terpelihara. Sama seperti pemilik ladang, pohon zaitun, dan kebun anggur, dalam penghasilan kita ada bagian orang asing, anak yatim, dan janda. Saya rasa Tuhan ingin kita berbagi dengan mereka.

Haruslah kauingat, bahwa engkau pun dahulu budak di tanah Mesir; itulah sebabnya aku memerintahkan engkau melakukan hal ini. (Ulangan 24:22)

Musa mengingatkan bangsa Israel bahwa mereka dahulu budak di tanah Mesir. Mereka dahulu hidup dalam penderitaan. Jadi kalau sekarang mereka diberkati dengan hasil tuaian di ladang, pohon zaitun, dan buah-buah anggur, Musa meminta mereka untuk tidak mengambil apa yang terlupakan dan tersisa. Sebab itulah bagian orang asing, anak yatim, maupun janda.

Siapakah orang asing, anak yatim, dan janda?

Kalau kita lihat konteks Firman Tuhan, orang asing tidak mungkin punya milik pusaka (tanah) di tengah-tengah bangsa Israel. Kelihatannya masuk akal jika Tuhan dalam Ulangan 24:19-21 mengatakan bahwa yang tersisa dan terlupakan adalah bagian orang asing juga, sebab mereka mungkin kekurangan.

Orang asing adalah orang yang bukan berasal dari tempat kita tinggal. Ia mungkin seorang diri merantau lalu tinggal dekat dengan kita. Tidak ada sanak saudara dan keluarga yang dekat dengan dia. Tuhan ingin kita memperhatikan orang asing. Menjadi saudara bagi mereka, memperhatikan kebutuhan mereka, membagikan sedikit dari yang kita punya bagi mereka.

Anak yatim adalah mereka yang tidak berbapa. Janda adalah mereka yang sudah ditinggalkan suaminya. Pada masa itu, anak yatim dan janda pada umumnya hidup berkekurangan setelah kehilangan sosok ayah dan suami dalam keluarga.

Saya rasa wajar jika Tuhan ingin kita berbagi penghasilan dengan mereka yang dalam posisi lemah, kekurangan, dan membutuhkan. Yang Tuhan mau yaitu supaya kita jangan dengan serakah mengambil berkat yang Tuhan berikan, tapi ingatlah akan mereka juga.

Tadinya saya berpikir bahwa ketiga ayat ini merupakan bentuk perhatian dan kasih Tuhan kepada orang-orang miskin. Saya pikir Tuhan ingin mereka bisa makan dan tetap hidup sehingga Dia berfirman:
 janganlah engkau kembali untuk mengambilnya; itulah bagian orang asing, anak yatim dan janda
janganlah engkau memeriksa dahan-dahannya sekali lagi; itulah bagian orang asing, anak yatim dan janda
janganlah engkau mengadakan pemetikan sekali lagi; itulah bagian orang asing, anak yatim dan janda

Namun saya yakin bahwa tidak semua orang asing, anak yatim, maupun janda selalu merupakan orang-orang miskin. Tapi ketika Tuhan menaruh perhatian pada mereka, ada kebutuhan lain yang Tuhan lihat, lebih dari sekedar faktor kemiskinan. Setelah saya renungkan lagi, baik orang asing, anak yatim, maupun janda memiliki suatu kesamaan, yaitu sama-sama tidak punya pelindung sesama manusia.

Seorang asing tinggal di dekat kita, namun jauh dari orang tua dan keluarga yang bisa melindungi dia. Dengan kata lain, dia tidak memiliki seseorang yang bisa melindungi dia.
Seorang anak yatim tidak memiliki ayah yang bisa melindungi dia.
Seorang janda tidak memiliki suami yang bisa melindungi dia.

Dengan kata lain, Tuhan memperhatikan orang asing, anak yatim, dan janda karena mereka tidak mempunyai pelindung.

TUHAN menjaga orang-orang asing, anak yatim dan janda ditegakkan-Nya kembali, tetapi jalan orang fasik dibengkokkan-Nya. (Mazmur 146:9)

Ketika Firman Tuhan berbicara mengatur apa yang menjadi bagian orang asing, anak yatim, dan janda; saya rasa Tuhan ingin memakai umat-Nya untuk menjadi pelindung bagi mereka. Bukan hanya sebagai penyalur berkat kebutuhan sehari-hari kalau mereka kekurangan, melainkan juga sebagai pelindung bagi mereka. Semoga kita tidak berhenti pada sumbangan, sembako, dan santunan. Marilah kita menjadi pelindung yang memperhatikan hak-hak mereka (termasuk hak untuk dikasihi dan dihargai), pelindung yang mencerminkan Pelindung Sejati manusia. Biarlah TUHAN yang dimuliakan dan dipuji ketika umat-Nya (kita) dengan setia memperhatikan bagian orang asing, anak yatim, dan janda.

Wednesday, January 7, 2015

Entering 2015: How could we live?

The end of the year was so close. The new year was coming. They were going to close 2014 and open 2015 with their beloved family and friends. No one ever imagine that a supposed-to-be-fun journey would be changed to be the end of life. But Air Asia QZ8501 crashed in bad weather, causing 155 passengers and 7 crews to death. Sunday morning, December 28, 2014 suddenly turned out to be Sunday mourning.

Families, relatives, and friends of the passengers and crews closed 2014 with a deep grief. They opened the new year 2015 with tears. Some of them saw their beloved ones came home as corpse. Some of them were and are still waiting for their beloved ones' bodies to be found. How could they live this year? Without their spouse, without their parents, without their siblings, without their children... How could they?