Putera-Nya sendiri Ia korbankan untuk
kita. Apa lagi yang kurang? Kasih karunia-Nya cukup bagi setiap orang berdosa
yang percaya kepada-Nya. Bapa di surga memberi dengan segala kelimpahan. Bukan
kelimpahan yang kita, orang berdosa, bayangkan; melainkan kelimpahan yang pada
akhirnya memuliakan Kristus.
Entah berapa kali aku merasa waktuku
untuk menyelesaikan skripsi tepat waktu tidak cukup. Aku merasa bahwa kemampuan
dan pengetahuanku tidak cukup baik untuk menghasilkan skripsi yang layak (kalau tidak bisa
disebut ‘berkualitas’). Cukup sering aku berseru kepada Tuhan,
mempertanyakan kasih karunia-Nya. Namun jawaban Tuhan selalu sama, “Kasih
karunia-Ku cukup bagimu”, dan memang terbukti cukup, bahkan tampaknya
berkelimpahan.
Setelah ganti judul, waktuku
benar-benar kurang dari sebulan untuk menyelesaikan skripsi. Sementara itu bab
4, yang merupakan analisis dan pembahasan, seringkali tidak berkembang dengan
signifikan. Prosesnya tampak begitu lambat. Kuatir, takut, bingung… aku sempat
stress, bahkan sakit. Bukan sakit karena kelelahan atau daya tahan tubuh
berkurang, melainkan sakit karena psikosomatis, kebanyakan pikiran gitu. Namun
kasih karunia Tuhan itu cukup. Toh aku bisa bangkit juga untuk melanjutkan
pengerjaan skripsiku.
Aku bersyukur bahwa sekali lagi kasih karunia
Tuhan itu cukup. Aku ingat suatu hari Senin pagi aku tidak bisa bangun dari
ranjangku, merasa benar-benar sakit, tanpa seorang pun tahu dengan pasti
kegelisahanku yang paling dalam. Saat itu tiba-tiba Silvi datang ke kamar dan
membawakanku pancake untuk sarapan. Setelah itu aku bisa melanjutkan penulisan
skripsiku sekalipun masih banyak kebingungan.
Kalau dipikir-pikir lagi, Tuhan lebih
peduli dan lebih tahu apa yang kubutuhkan daripada diriku sendiri. Karena
skripsiku dikerjakan dengan menggunakan bahasa Inggris, berarti grammar-nya
harus benar. Tidak hanya grammar, tetapi juga sistematika penulisannya. Istilah
bahasa Inggris-nya sih, skripsiku itu harus di-proof-read. Tuhan memakai beberapa orang teman di sektiarku untuk
mengingatkan, tepat 3 minggu sebelum skripsiku dikumpulkan. “Nov, skripsimu
udah di-proof-read?” Nah,
pertanyaannya adalah, siapa yang bisa proof-reading
skripsiku?
Dari sekian banyak native speakers and expat friends di
gereja, aku cuma kepikiran leader LIFE Group-ku. Setahu aku sih skill-nya dalam
English writing memang tidak perlu diragukan. Sudah terkenal di gereja kalau writing-skill-nya
bagus banget, bahkan sejak Februari lalu dia sudah bekerja membangun bisnis
barunya yang bergerak di bidang English writing juga. Pertimbangan kedua, karena
dia adalah leader LIFE Group-ku, jadi ya sah-sah saja untuk minta tolong dia.
Tapi ada satu masalah untuk minta
tolong sama dia. Masalahnya aku terlalu sombong untuk minta tolong. Kata
lainnya mungkin gengsi. Masa gitu aja minta tolong. Masa gitu aja nanya orang. Yah,
mungkin aku juga bisa bilang kalau aku sungkan, tapi selama lent season
jelas-jelas Tuhan bukakan betapa sombongnya aku dan betapa bodohnya
kesombonganku itu. Tuhan tunjukkan padaku betapa seringkali dengan gampangnya
aku menawarkan bantuan dan menolong orang lain, tapi sama sekali tidak mau
ditolong apalagi minta tolong.
Nah, tadi aku juga sempat sebutkan
bahwa leader-ku ini baru saja membangun bisnisnya. Artinya dia lagi super
sibuk. Oke? S-I-B-U-K. Jadi kalau aku minta tolong dia sih agak gak tahu diri
lah, kebangetan lah, ngerepotin lah…. Namun berkali-kali aku merasa Tuhan
meyakinkanku untuk minta tolong sama dia, just
say it. Di sini aku merasa Tuhan bukan hanya peduli dengan kondisi
skripsiku yang grammatically error
itu, tapi juga dengan kondisi karakterku yang miskin akan kerendahan hati.
Minta tolong leader-ku untuk proof-read
skripsiku akan menjadi suatu latihan yang baik untuk belajar rendah hati.
Tuhan berkali-kali kasih kesempatan
untuk aku bisa ngomong dan minta tolong sama leader-ku ini. Setelah FoundationsClass part II, somehow dia itu duduk
di belakangku saat di bus, tapi aku juga nggak nanya ke dia, malah sibuk cari
bahan pembicaraan sama temen di sebelahku. Waktu itu aku mikirnya, “Ah,
skripsiku belum selesai juga. Ntar aja lah, nanggung kalau sekarang minta
tolong trus cuma di-proof-read sampe
bab 4 doang.” Selain itu aku juga agak pesimis bisa selesai bab 4-5 dalam waktu
yang cukup cepat apalagi barusan ganti judul.
Luar biasanya, tepat 2 minggu sebelum
due date pengumpulan skripsi, kasih karunia Tuhan terbukti cukup ketika bab 1
sampai bab 5 berhasil kuselesaikan. Yeeey! \(^-^)/ Hari Sabtu-nya, LIFE
Group-ku sama LIFE Group lain main kasti bareng. Setelah itu kami dinner bareng di Taman Sari. Nah, waktu
dinner ini leader-ku itu duduk persis di sebelah Julia, yang duduk di depanku.
Trus kami juga banyak ngobrol selama dinner itu. Jadi sangat gampang untuk
langsung ngomong aja kalau aku mau minta tolong dia proof-reading skripsiku.
Namun aku merasa beraaaaaaaaaaaaaattt
sekali untuk ngomong. Jadinya aku malah cerita-cerita soal makanan. Aku ingat
waktu itu cerita tentang bagaimana Mama mendidikku supaya menghabiskan nasi
yang ada di piring (gubraaaaaaaaaakk!!). Sabtu sore itu
berlalu tanpa satu kata pun keluar dari mulutku tentang skripsi. Tadinya sempat
berharap siapa tahu Eric nanya duluan, “How’s
your thesis?”. Trus baru deh bilang, “Well,
actually I need a proof-reader. Can you help me proof-read my thesis, please?”
Hehe… Tapi ternyata dia nggak nanya sama sekali. Kayaknya nggak kepikiran nanya
juga lah ya…. Haha…. Kalo kata Robby sih ini kebiasaan cewek, seringkali nggak
mau ngomong langsung tapi nunggu ditanya dulu. Kekekeeee….
Hari Minggu-nya, aku merasa inilah
kesempatan terakhirku. Kalau nggak ngomong, nggak akan ada waktu lagi. Itu pun
aku masih bergumul dan menunda-nunda untuk ngomong. Hari itu kami ada
Foundations Class part III. Jadi aku pikir, “Ah, masih ada waktu”. Sampai akhirnya
kelas itu selesai dan aku juga nggak nanya.
Oke, satu-satunya kesempatan untuk
nanya ya waktu pulang. Mungkin pas lagi di bus. Tapi ternyata nggak seperti
minggu sebelumnya, kali ini leader-ku itu duduk nun jauh di belakang. Ngek. Gimana mau nanya? Kalo nyamperin
ke tempat dia juga agak gimanaaaaa gitu. Sepanjang jalan dari Heartline Center
balik ke Menara Matahari itu aku deg-degan banget. Bingung gimana mau ngomong.
Kalau nggak ngomong, nggak ada waktu lagi.
Turun dari bus, aku tungguin dia
turun. Baru deh ngomong. Deg-degan banget lah waktu itu. Aku juga nggak inget
persis gimana ngomongnya. Pokoknya ga pake basa-basi langsung to the point aja. Hehe…. Yang jelas
responnya waktu itu santai aja. Dia bilang oke gitu. Trus ya aku janjiin bahwa
malam itu juga akan aku kasih lah. Pas aku juga ada janji ke tempat Ce Ester
buat doa. Sekalian lah. Pokoknya lega banget abis ngomong itu. Namun malam itu
ternyata aku nggak jadi ketemu Ce Ester, nggak bisa ketemu dia juga. Jadi mau
nggak mau besoknya baru bisa kasih. Saat menerima skripsiku, dia sempat agak amazed gitu memegang sekitar 90-an
halaman di tangannya. Trus aku bilang kalo dia selesainya minggu depan juga ga
papa. Aku tahu sih aku juga agak mepet ngasihnya. Apalagi itu tuh pas 2 minggu
sebelum skripsi dikumpulkan.
Setelah ngasih skripsi, aku sempat
merasa kejam gitu sama dia. Temenku yang lain itu ada yang minta proof-read sama leader LIFE-Group-nya
juga, tapi nggak langsung bab 1-5 dikasih semua gitu, melainkan bab per bab.
Itu juga masih dibagi dua, sebagian dikasih orang lain buat di-proof-read. Dia bilang sih butuh 3
minggu baru beres. Saat tahu kalau aku kasih semuanya ke leader LIFE Group-ku,
komentarnya benar-benar membuatku merasa bersalah, “Ya ampun Nov, kamu kasih 5
bab langsung?! Kejem banget… Masa kamu nggak tahu sih dia tuh lagi sibuk? Kan
he just starts his new business….” Ya ampun, makin merasa nggak enak lah aku. Selain
itu nih, denger-denger, sebelum aku tuh sempet ada temen lain yang minta tolong
dia untuk proof-read skripsinya tapi ditolak
karena sibuk banget with his new business itu. Jadi merasa makin nggak enak.
Apalagi Selasa malam setelah LIFE Group tuh dia pergi ke Menara Matahari buat
ngurusin bisnisnya itu. Waktu itu sekitar jam setengah 11 malam. Bayangin aja,
setelah LIFE Group selesai, dia nggak tidur malah kerja. Kalau nggak sibuk
pasti nggak mungkin lah dia bela-belain kerja malam-malam gitu kan? Trus aku
malah nambahin kerjaan dia dengan memberikan setumpuk kertas buat di-proof-read. Hhhhh… makin merasa diri
kejam. Kayaknya nggak seharusnya aku minta tolong, well, ngrepotin orang.
Namun kasih karunia Tuhan juga cukup
buat the proof-reader. Hehehe… Aku
sih nggak tahu pasti gimana pergumulannya. Hehe…. Jahatnya aku tuh nggak care gitu, nggak nanya balik kerjaan dia
gimana lah, punggungnya udah baikan gak (beberapa minggu terakhir dia sempat
cerita “my back hurts” gitu).
Terakhir, aku sempet baca tweet-nya kalo lagi ngedit paper (kayaknya sih
skripsiku) sambil nongkrong di AddicTea, trus hash-tag-nya tuh #weekend. Sedih
banget ya, weekend-nya harus
dihabiskan dengan mengoreksi skripsiku. Hehe…. Tapi yang pasti sih memang kasih
karunia Tuhan cukup buat dia. Minggu sore (sebelum Jumat-nya aku harus ngumpulin
skripsi) dia sms kalo
udah selesai editing grammar di skripsiku.
Malam itu juga aku ambil skripsiku dan
langsung revisi sesuai coretannya proof-reader-ku
ini. Tadinya aku pikir karena bisa dibilang cuma editing grammar, maka nggak akan makan waktu lama. Ternyata malah
begadang sampe jam 5 pagi. Aku cukup kaget mendapati diriku bisa bertahan sampe
jam 5 pagi, karena harusnya sih aku nggak sekuat itu. Bener-bener luar biasa
cukup lah kasih karunia Tuhan itu!
Halaman di sebelah kiri itu hasil proof-reading-nya Eric sementara yang di
sebelah kanan itu yang belum diproof-read. Kelihatan banget kan banyak
salahnya? Apa jadinya coba kalo nggak di-proof-read?
:p
Tahu nggak, that’s really a blessing to have a proof-reader for my SKRIPSI.
Bukan cuma aku sendiri yang kewalahan menulis skripsi dalam bahasa Inggris.
Temen-temen lain juga bergumul, namun tidak semua orang bisa punya seseorang
yang bisa proof-read, apalagi yang
bener-bener qualified in English writing
(gratis lagi, ga
pake bayar :p). Later, I would
be more thankful after knowing that my examiners are special. Hehehe…. Praise the Lord for His grace is always sufficient for His children!
Thanks Lord for
showing your sufficient grace to me during the last weeks of SKRIPSI-writing.
Your grace is even sufficient to humble my heart before You. May your name be
glorified for it’s not by my strength that I could finish this skripsi. It’s
only by Your grace, Lord!
Behind the Skripsi - Part IV
Behind the Skripsi - Part IV
No comments:
Post a Comment