Monday, April 1, 2013

Behind the Skripsi – Part III: His grace is sufficient for me


Putera-Nya sendiri Ia korbankan untuk kita. Apa lagi yang kurang? Kasih karunia-Nya cukup bagi setiap orang berdosa yang percaya kepada-Nya. Bapa di surga memberi dengan segala kelimpahan. Bukan kelimpahan yang kita, orang berdosa, bayangkan; melainkan kelimpahan yang pada akhirnya memuliakan Kristus.
Entah berapa kali aku merasa waktuku untuk menyelesaikan skripsi tepat waktu tidak cukup. Aku merasa bahwa kemampuan dan pengetahuanku tidak cukup baik untuk menghasilkan skripsi yang layak (kalau tidak bisa disebut ‘berkualitas’). Cukup sering aku berseru kepada Tuhan, mempertanyakan kasih karunia-Nya. Namun jawaban Tuhan selalu sama, “Kasih karunia-Ku cukup bagimu”, dan memang terbukti cukup, bahkan tampaknya berkelimpahan.
Setelah ganti judul, waktuku benar-benar kurang dari sebulan untuk menyelesaikan skripsi. Sementara itu bab 4, yang merupakan analisis dan pembahasan, seringkali tidak berkembang dengan signifikan. Prosesnya tampak begitu lambat. Kuatir, takut, bingung… aku sempat stress, bahkan sakit. Bukan sakit karena kelelahan atau daya tahan tubuh berkurang, melainkan sakit karena psikosomatis, kebanyakan pikiran gitu. Namun kasih karunia Tuhan itu cukup. Toh aku bisa bangkit juga untuk melanjutkan pengerjaan skripsiku.
Aku bersyukur bahwa sekali lagi kasih karunia Tuhan itu cukup. Aku ingat suatu hari Senin pagi aku tidak bisa bangun dari ranjangku, merasa benar-benar sakit, tanpa seorang pun tahu dengan pasti kegelisahanku yang paling dalam. Saat itu tiba-tiba Silvi datang ke kamar dan membawakanku pancake untuk sarapan. Setelah itu aku bisa melanjutkan penulisan skripsiku sekalipun masih banyak kebingungan.
Kalau dipikir-pikir lagi, Tuhan lebih peduli dan lebih tahu apa yang kubutuhkan daripada diriku sendiri. Karena skripsiku dikerjakan dengan menggunakan bahasa Inggris, berarti grammar-nya harus benar. Tidak hanya grammar, tetapi juga sistematika penulisannya. Istilah bahasa Inggris-nya sih, skripsiku itu harus di-proof-read. Tuhan memakai beberapa orang teman di sektiarku untuk mengingatkan, tepat 3 minggu sebelum skripsiku dikumpulkan. “Nov, skripsimu udah di-proof-read?” Nah, pertanyaannya adalah, siapa yang bisa proof-reading skripsiku?
Dari sekian banyak native speakers and expat friends di gereja, aku cuma kepikiran leader LIFE Group-ku. Setahu aku sih skill-nya dalam English writing memang tidak perlu diragukan. Sudah terkenal di gereja kalau writing-skill-nya bagus banget, bahkan sejak Februari lalu dia sudah bekerja membangun bisnis barunya yang bergerak di bidang English writing juga. Pertimbangan kedua, karena dia adalah leader LIFE Group-ku, jadi ya sah-sah saja untuk minta tolong dia.
Tapi ada satu masalah untuk minta tolong sama dia. Masalahnya aku terlalu sombong untuk minta tolong. Kata lainnya mungkin gengsi. Masa gitu aja minta tolong. Masa gitu aja nanya orang. Yah, mungkin aku juga bisa bilang kalau aku sungkan, tapi selama lent season jelas-jelas Tuhan bukakan betapa sombongnya aku dan betapa bodohnya kesombonganku itu. Tuhan tunjukkan padaku betapa seringkali dengan gampangnya aku menawarkan bantuan dan menolong orang lain, tapi sama sekali tidak mau ditolong apalagi minta tolong.
Nah, tadi aku juga sempat sebutkan bahwa leader-ku ini baru saja membangun bisnisnya. Artinya dia lagi super sibuk. Oke? S-I-B-U-K. Jadi kalau aku minta tolong dia sih agak gak tahu diri lah, kebangetan lah, ngerepotin lah…. Namun berkali-kali aku merasa Tuhan meyakinkanku untuk minta tolong sama dia, just say it. Di sini aku merasa Tuhan bukan hanya peduli dengan kondisi skripsiku yang grammatically error itu, tapi juga dengan kondisi karakterku yang miskin akan kerendahan hati. Minta tolong leader-ku untuk proof-read skripsiku akan menjadi suatu latihan yang baik untuk belajar rendah hati.
Tuhan berkali-kali kasih kesempatan untuk aku bisa ngomong dan minta tolong sama leader-ku ini. Setelah FoundationsClass part II, somehow dia itu duduk di belakangku saat di bus, tapi aku juga nggak nanya ke dia, malah sibuk cari bahan pembicaraan sama temen di sebelahku. Waktu itu aku mikirnya, “Ah, skripsiku belum selesai juga. Ntar aja lah, nanggung kalau sekarang minta tolong trus cuma di-proof-read sampe bab 4 doang.” Selain itu aku juga agak pesimis bisa selesai bab 4-5 dalam waktu yang cukup cepat apalagi barusan ganti judul.
Luar biasanya, tepat 2 minggu sebelum due date pengumpulan skripsi, kasih karunia Tuhan terbukti cukup ketika bab 1 sampai bab 5 berhasil kuselesaikan. Yeeey! \(^-^)/ Hari Sabtu-nya, LIFE Group-ku sama LIFE Group lain main kasti bareng. Setelah itu kami dinner bareng di Taman Sari. Nah, waktu dinner ini leader-ku itu duduk persis di sebelah Julia, yang duduk di depanku. Trus kami juga banyak ngobrol selama dinner itu. Jadi sangat gampang untuk langsung ngomong aja kalau aku mau minta tolong dia proof-reading skripsiku.
Namun aku merasa beraaaaaaaaaaaaaattt sekali untuk ngomong. Jadinya aku malah cerita-cerita soal makanan. Aku ingat waktu itu cerita tentang bagaimana Mama mendidikku supaya menghabiskan nasi yang ada di piring (gubraaaaaaaaaakk!!). Sabtu sore itu berlalu tanpa satu kata pun keluar dari mulutku tentang skripsi. Tadinya sempat berharap siapa tahu Eric nanya duluan, “How’s your thesis?”. Trus baru deh bilang, “Well, actually I need a proof-reader. Can you help me proof-read my thesis, please?” Hehe… Tapi ternyata dia nggak nanya sama sekali. Kayaknya nggak kepikiran nanya juga lah ya…. Haha…. Kalo kata Robby sih ini kebiasaan cewek, seringkali nggak mau ngomong langsung tapi nunggu ditanya dulu. Kekekeeee….
Hari Minggu-nya, aku merasa inilah kesempatan terakhirku. Kalau nggak ngomong, nggak akan ada waktu lagi. Itu pun aku masih bergumul dan menunda-nunda untuk ngomong. Hari itu kami ada Foundations Class part III. Jadi aku pikir, “Ah, masih ada waktu”. Sampai akhirnya kelas itu selesai dan aku juga nggak nanya.
Oke, satu-satunya kesempatan untuk nanya ya waktu pulang. Mungkin pas lagi di bus. Tapi ternyata nggak seperti minggu sebelumnya, kali ini leader-ku itu duduk nun jauh di belakang. Ngek. Gimana mau nanya? Kalo nyamperin ke tempat dia juga agak gimanaaaaa gitu. Sepanjang jalan dari Heartline Center balik ke Menara Matahari itu aku deg-degan banget. Bingung gimana mau ngomong. Kalau nggak ngomong, nggak ada waktu lagi.
Turun dari bus, aku tungguin dia turun. Baru deh ngomong. Deg-degan banget lah waktu itu. Aku juga nggak inget persis gimana ngomongnya. Pokoknya ga pake basa-basi langsung to the point aja. Hehe…. Yang jelas responnya waktu itu santai aja. Dia bilang oke gitu. Trus ya aku janjiin bahwa malam itu juga akan aku kasih lah. Pas aku juga ada janji ke tempat Ce Ester buat doa. Sekalian lah. Pokoknya lega banget abis ngomong itu. Namun malam itu ternyata aku nggak jadi ketemu Ce Ester, nggak bisa ketemu dia juga. Jadi mau nggak mau besoknya baru bisa kasih. Saat menerima skripsiku, dia sempat agak amazed gitu memegang sekitar 90-an halaman di tangannya. Trus aku bilang kalo dia selesainya minggu depan juga ga papa. Aku tahu sih aku juga agak mepet ngasihnya. Apalagi itu tuh pas 2 minggu sebelum skripsi dikumpulkan.
Setelah ngasih skripsi, aku sempat merasa kejam gitu sama dia. Temenku yang lain itu ada yang minta proof-read sama leader LIFE-Group-nya juga, tapi nggak langsung bab 1-5 dikasih semua gitu, melainkan bab per bab. Itu juga masih dibagi dua, sebagian dikasih orang lain buat di-proof-read. Dia bilang sih butuh 3 minggu baru beres. Saat tahu kalau aku kasih semuanya ke leader LIFE Group-ku, komentarnya benar-benar membuatku merasa bersalah, “Ya ampun Nov, kamu kasih 5 bab langsung?! Kejem banget… Masa kamu nggak tahu sih dia tuh lagi sibuk? Kan he just starts his new business….” Ya ampun, makin merasa nggak enak lah aku. Selain itu nih, denger-denger, sebelum aku tuh sempet ada temen lain yang minta tolong dia untuk proof-read skripsinya tapi ditolak karena sibuk banget with his new business itu. Jadi merasa makin nggak enak. Apalagi Selasa malam setelah LIFE Group tuh dia pergi ke Menara Matahari buat ngurusin bisnisnya itu. Waktu itu sekitar jam setengah 11 malam. Bayangin aja, setelah LIFE Group selesai, dia nggak tidur malah kerja. Kalau nggak sibuk pasti nggak mungkin lah dia bela-belain kerja malam-malam gitu kan? Trus aku malah nambahin kerjaan dia dengan memberikan setumpuk kertas buat di-proof-read. Hhhhh… makin merasa diri kejam. Kayaknya nggak seharusnya aku minta tolong, well, ngrepotin orang.
Namun kasih karunia Tuhan juga cukup buat the proof-reader. Hehehe… Aku sih nggak tahu pasti gimana pergumulannya. Hehe…. Jahatnya aku tuh nggak care gitu, nggak nanya balik kerjaan dia gimana lah, punggungnya udah baikan gak (beberapa minggu terakhir dia sempat cerita “my back hurts” gitu). Terakhir, aku sempet baca tweet-nya kalo lagi ngedit paper (kayaknya sih skripsiku) sambil nongkrong di AddicTea, trus hash-tag-nya tuh #weekend. Sedih banget ya, weekend-nya harus dihabiskan dengan mengoreksi skripsiku. Hehe…. Tapi yang pasti sih memang kasih karunia Tuhan cukup buat dia. Minggu sore (sebelum Jumat-nya aku harus ngumpulin skripsi) dia sms kalo udah selesai editing grammar di skripsiku.
Malam itu juga aku ambil skripsiku dan langsung revisi sesuai coretannya proof-reader-ku ini. Tadinya aku pikir karena bisa dibilang cuma editing grammar, maka nggak akan makan waktu lama. Ternyata malah begadang sampe jam 5 pagi. Aku cukup kaget mendapati diriku bisa bertahan sampe jam 5 pagi, karena harusnya sih aku nggak sekuat itu. Bener-bener luar biasa cukup lah kasih karunia Tuhan itu!

Halaman di sebelah kiri itu hasil proof-reading-nya Eric sementara yang di sebelah kanan itu yang belum diproof-read. Kelihatan banget kan banyak salahnya? Apa jadinya coba kalo nggak di-proof-read? :p

Tahu nggak, that’s really a blessing to have a proof-reader for my SKRIPSI. Bukan cuma aku sendiri yang kewalahan menulis skripsi dalam bahasa Inggris. Temen-temen lain juga bergumul, namun tidak semua orang bisa punya seseorang yang bisa proof-read, apalagi yang bener-bener qualified in English writing (gratis lagi, ga pake bayar :p). Later, I would be more thankful after knowing that my examiners are special. Hehehe…. Praise the Lord for His grace is always sufficient for His children!

Thanks Lord for showing your sufficient grace to me during the last weeks of SKRIPSI-writing. Your grace is even sufficient to humble my heart before You. May your name be glorified for it’s not by my strength that I could finish this skripsi. It’s only by Your grace, Lord!

Behind the Skripsi - Part IV

No comments:

Post a Comment