Sabtu lalu saat ikut ACCESS, seusai khotbah, Pastor Andrew meminta setiap kami berkumpul dengan Life Group masing2 dan sharing mengenai hubungan dengan ortu. Saat itulah aku menyadari bahwa sekalipun hubunganku dengan ortu baik2 saja dan selama ini aku cukup dekat dengan mereka, namun tetap ketidaksempurnaan ada dalam hubungan kami. Secara khusus antara aku dan Papa. Selama ini aku mengira bahwa aku lebih butuh Mama daripada Papa, karena aku anak perempuan. Padahal aku membutuhkan peran dan keterlibatan mereka berdua secara seimbang.
Mungkin juga Papa berpikir bahwa sudah seharusnya aku lebih dekat dengan Mama. Setiap kali telepon ke rumah, selalu Mama yang jawab. Setiap kali aku ada pergumulan, Mama lah yang maju dan bicara dari hati ke hati denganku. Aku tidak menyalahkan Papa. Wajar kalau ia berpikir demikian. Bagaimanapun sekarang aku seorang gadis yang beranjak dewasa dan tidak semua hal bisa disharingkan dengan Papa yang merupakan ortu lawan jenis. Selain itu, sejak kuliah di luar kota, aku jadi tidak punya waktu berdua saja dengan Papa. Kalau aku pulang ke Surabaya, kami menghabiskan waktu bersama2 sekeluarga, tidak berduaan.
Aku kaget saat mendapati sore itu air mataku mengalir cukup deras. Secara tidak sadar, kebutuhan emosionalku tidak terpenuhi dengan sempurna. Aku butuh lebih banyak peran dan keterlibatan Papa dalam hidupku. Tanpa peran dan keterlibatannya yang aktif, sulit bagiku untuk benar-benar menjadi seorang wanita dewasa, baik secara spiritual, mental, karakter, maupun emosional.
Seorang dosen yang mengajar mata kuliah Child and Adolescent Development pernah berkata bahwa seorang gadis yang tumbuh dengan tercukupi kebutuhan emosionalnya seringkali cenderung tidak merasa dirinya butuh pacar. Kecuali kalo lagi jatuh cinta dan sudah waktunya menikah. Hehe.... Terus terang, selama ini aku bertanya-tanya, mengapa hubungan yang baik dengan Papa tidak membuatku merasa bahwa kebutuhan emosionalku sudah tercukupi? Terakhir kali aku dekat dengan seorang cowok bukan karena aku betul2 naksir dia (yang bener aja.. @.@) tapi karena secara tidak sadar aku berharap dia bisa memenuhi kebutuhan emosionalku.
Aku merasa ada bagian emosional dalam diri setiap gadis yang Tuhan rancang untuk hanya bisa diisi oleh figur seorang ayah. Seorang gadis akan menemukan rasa amannya di dalam hubungan dengan seorang ayah. Seorang gadis akan tumbuh menjadi wanita dewasa yang mampu membangun hubungan yang sehat dengan lawan jenis (baik teman atau calon pasangan hidup dan bahkan suaminya) hanya jika ia sudah memiliki hubungan yang sehat dengan ayahnya. Hubungan yang sehat di sini berarti ayah berperan dan terlibat secara aktif dalam pertumbuhan putrinya.
Pagi ini untuk waktu 15 menit lamanya aku bicara dengan dorm parent-ku, Pak Stenly, mengenai seorang gadis yang kulayani. Gadis ini tampaknya ceria dari luar, namun sesungguhnya sangat merindukan kasih seorang ayah. Ia masih punya ayah, namun kehilangan keintiman dengan ayahnya dan seringkali di tengah2 banyak orang ia masih merasa sendiri dan kesepian. Ia beberapa kali berpacaran dan menurut pendapatnya tidak satupun dari mantan2nya yang meninggalkan kesan khusus. Hal ini tidak mengherankan karena bagiku jelas sekali yang ia cari dari hubungan dengan mantan2nya bukan cinta antara lelaki dan perempuan, melainkan kasih dan figur seorang ayah.
Aku teringat pada beberapa gadis lain yang juga tumbuh besar dengan ayah yang pasif, ayah yang disfungsi, dan bahkan tanpa ayah. Besar kebutuhan emosional mereka, namun jarang sekali disadari. Dalam kasusku, aku punya hubungan yang cukup dekat dengan Papa dan sangat menyadari betapa aku sangat dikasihi olehnya namun tidak menyadari betapa aku sangat membutuhkan peran dan keterlibatan Papa lebih banyak dari yang ada sekarang.
Sebetulnya sejak liburan Juli lalu, aku sudah memutuskan untuk lebih banyak sharing ke Papa (selama ini Papa juga tahu pergumulanku tapi melalui hasil sharing dengan Mama). Lebih dari sekedar sharing, aku rasa aku butuh untuk lebih banyak mendengarkan Papa daripada Mama (sudah terlalu banyak dengerin Mama.. hehe..). Aku ingat saat menceritakan pada Papa bagaimana mantanku menawarkan untuk menjemput di bandara (padahal dia sudah punya cewek lain). Saat itu Papa memberikan komentar. Walaupun hanya satu kalimat, itu saja sudah cukup membuatku merasa aman dan dilindungi, tahu pasti bahwa Papa menjagaku juga secara emosional. Ketika Papa memutuskan untuk berdiri di depan pintu saat seorang teman cowok menjemput atau mengantarku pulang, ada rasa aman tersendiri karena tahu bahwa Papa memikirkan keselamatan.
Namun lebih dari sekedar kasih, peran, dan keterlibatan Papa yang mampu memberiku identitas sebagai wanita dewasa; aku butuh kasih, peran, dan keterlibatan Bapa di surga yang memberiku identitas sebagai wanita kepunyaan-Nya. Tanpa kasih, peran, dan keterlibatan Bapa di surga dalam hidupku, aku tidak mungkin bisa bertumbuh semakin serupa Kristus hari demi hari.
No comments:
Post a Comment