Tuesday, March 18, 2014

THIS EXPERIENCE MUST COME (Pengalaman Ini Pasti Datang)

Tulisan ini secara khusus diberikan pada saya oleh Diannita Dwi Pujiastuti Gazalie, saudari saya di dalam Tuhan. Merupakan suatu berkat bagi saya bisa mengenalnya secara pribadi selama 4 tahun masa kuliah. Melalui Diannita, saya melihat sosok seorang perempuan yang berdoa. Saat ini Diannita melayani sebagai guru di UPH College. Ia aktif melayani Tuhan dan suka menulis untuk berbagi berkat dengan orang-orang di sekelilingnya. Selamat membaca dan merasa terberkati.

Kehidupan itu perlu dinamika. . .
DINAMIKA adalah salah satu pelajaran yang menarik sewaktu SMA (dan sekarang juga). Dinamika membahas tentang mengapa suatu benda itu bergerak. Suatu benda yang memiliki massa (mass) bergerak karena pasti ada paksaan (force) yang bekerja. Ketika ia bergerak maka ia akan menghasilkan percepatan (acceleration) dan  mengalami perpindahan (displacement). Lalu Newton merumuskannya menjadi a= (∑▒F)/m


Kehidupan itu perlu sebuah dinamika. Kehidupan yang sekedar diam atau bergerak konstan atau tetap-tetap saja, itu sepertinya kurang menarik sekalipun banyak yang menyukainya. Pada akhirnya pun sebuah paksaan (force) bekerja pada hidup kita. Paksaan itu mungkin tantangan dan pergumulan kehidupan. Saat hal itu datang dalam hidup kita, maka mau tidak mau kita harus bergerak. Sebagian orang menghadapinya dengan ringan sehingga ia lebih mudah bergerak, menyesuaikan diri, dan mencapai perpindahan dengan lebih cepat. Sebagian orang lainnya menghadapinya dengan berat sehingga ia lebih sulit bergerak, sulit menyesuaikan diri dan mencapai perpindahan dengan lebih lambat. Nampaknya Newton betul-betul mengerti tentang kehidupan. Entah cepat atau lambat, kedua macam orang itu akhirnya pun tetap bergerak dan berpindah. Ketika kita bergerak, kita tak mungkin tetap di titik yang sama. Kita harus berpindah.

Perpindahan adalah hal yang pasti...
Perpindahan bagi sebagian orang bukanlah hal yang menyenangkan. Beberapa orang menolak perpindahan dalam sebuah kehidupan, menolak adanya paksaan perubahan dalam hidup.  Dalam karyanya “Manusia Setengah Salmon”, Raditya Dika berkata “Hidup penuh dengan ketidakpastian, tetapi perpindahan adalah salah satu hal yang pasti”. Sekeras apapun saya menolak, perpindahan adalah satu hal yang pasti dan tak mungkin terelakkan. Inilah kondisi yang Tuhan berikan dalam hidup manusia bahkan sejak lahir.

Setelah 9 bulan seorang bayi menginap di ‘hotel’ termewah, ia mau tak mau harus berpindah dari rahim ibunya ke dunia ini. Setelah 4 atau 5 tahun, seorang balita bermain-main di rumah, ia akhirnya ‘dipaksa’ oleh orang tuanya untuk belajar dan bermain di TK. Setelah 2 tahun belajar di TK, ia mau tak mau harus naik ke SD, lalu SMP, dan SMA. Ketika lulus SMA, ia juga harus berpindah ke pola hidup yang baru, belajar lagi di bangku kuliah atau bekerja. Lihatlah, perpindahan itu adalah suatu hal yang pasti dan tak terelakkan.

Pengalaman ini pasti datang...
Perpindahan bukanlah hal yang selalu menyenangkan. Apalagi jika harus dipaksa keluar dari kondisi nyaman kita dan ditambah lagi jika harus melaluinya sendirian. Tentu, hal ini tidak mudah. Tetapi, Oswald Chambers, penulis buku “My Utmost for His Highest” menuliskan suatu renungan berjudul “This Experience Must Come” (Pengalaman Ini Pasti Datang). Pengalaman apakah itu? Pengalaman hidup tanpa teman, pembimbing dan pemimpin pasti akan datang dalam suatu masa kehidupan kita. Renungan itu mengambil perikop bacaan 2 Raja-raja 2:1-25 tentang kisah Nabi Elia terangkat ke sorga disaksikan oleh Elisa. Sepanjang hidupnya Elisa hidup dekat dengan Elia. Elia adalah teman, mentor/pembimbing dan pemimpin rohani bagi Elisa. Elisa hidup mengikuti dan menyaksikan bagaimana Elia hidup, melayani serta menghadapi tantangan kehidupan. Mungkin ada berbagai hal yang Elia ambil untuk hadapi dan membiarkan Elisa melihat dan belajar. Akan tetapi, pengalaman itu pasti datang yaitu saat Elia pergi meninggalkan Elisa dan ia harus menjalani perannya tanpa seorang Elia.

Sekitar 2 tahun lalu, seorang pengkotbah berbicara tentang hal ini di sebuah persekutuan anak muda. Ia mengatakan dengan begitu yakinnya, “Suatu hari nanti saat kamu memasuki dunia kerja, akan tiba masanya kamu harus melalui segala sesuatu sendirian. Saat seolah-olah tidak ada teman, pembimbing dan pemimpin rohani bagimu.” Beberapa minggu kemudian, ada seorang alumni yang memberikan kesaksian di mimbar, betapa ia merasa kehilangan komunitas, teman dan pembimbing saat ia sudah bekerja. Ia terlihat begitu merindukan kehadiran teman, komunitas dan pembimbing. Seolah menjadi konfirmasi bahwa pengalaman ini pasti akan datang dan tak terelakkan.

Oswald Chambers menulis dalam renungannya, ”Tidak ada yang salah saat kamu bergantung pada ‘Elia’-mu sepanjang Tuhan memberikannya padamu. Tetapi ingat bahwa masanya akan datang ia harus meninggalkanmu dan tidak lagi menjadi penuntun dan pemimpinmu, karena Tuhan tidak berkehendak untuk ia tetap tinggal. Bahkan ketika hal ini membuatmu berpikir, “Aku tidak dapat melanjutkan ini tanpa ‘Elia’-ku”, saat itu pun Tuhan tetap berkata bahwa kamu harus melanjutkannya”. Siapakah ‘Elia’ itu dalam kehidupan ini? Orang tua? Teman-teman? Kekasih? Mentor?

Pengalaman keterpisahan...
Akan tiba masa dalam hidup umat manusia, ketika sejenis keterpisahan itu melanda. Saat kita kehilangan persahabatan/kebersamaan (fellowship) dengan orang yang selama ini menolong dan menopang hidup kita. Secara eksistensi mungkin mereka ada, tetapi sebuah hubungan kebersamaan yang kita butuhkan mungkin itu sudah tak lagi sama. Saat biasanya mereka mengambil peran dan melakukan beberapa hal untuk menolong kita, namun kini kita harus melakukan semuanya seorang diri. Di saat seperti ini, tidak ada gunanya lagi berkata, “Aku tidak mau menjalaninya” karena pengalaman telah datang dan mau tak mau kita harus pergi dan berpindah.

Pengalaman ketidakberdayaan...
Pengalaman ini pun datang saat kita tidak lagi mempunyai daya (power) untuk mengatur, mengontrol, dan menopang hidup kita sendiri. Ada masanya semuanya seolah berantakan dan kita seperti hanya bisa melihat dan tak mempunyai kekuatan untuk memperbaikinya. Seolah hanya mampu menitikkan air mata sebagai bentuk ekspresi ketidakberdayaan. Engkau berseru minta tolong namun seolah-olah tak ada satupun yang mampu menolongmu atau memberikanmu tambahan daya atau kekuatan. Di saat seperti itu,  terimalah dan rangkullah ketidakberdayaan itu sebagai teman dan bukan lawan. Berdiamlah dan rasakanlah Pribadi yang paling mampu memulihkan.

Pengalaman kebodohan...
Inilah masa yang orang terpandai pun pasti akan mengalaminya. Saat semua pemikiran yang kita anggap baik tak lagi bijak. Saat semua niat yang tulus menuai salah paham. Saat setiap kata-kata mudah disalahpahami sejelas apapun disampaikan. Saat orang lain menganggap kita tak lagi dewasa dan tak lagi berhikmat. Seketika, kita menjadi panik dan berpikir mengapa menjadi demikian. Sungguh seperti orang bodoh rasanya. Saat semua hikmat kepandaian manusia berakhir inilah awal dari hikmat Allah tercurah. Inilah masa kita mengingat lagi kehidupan doa. Bertekun dalam waktu hening mencari Tuhan dan segala hikmat-Nya sebab kita sadar kita bodoh tanpa-Nya.

Pengalaman terbaik bersama Tuhan...
Tetapi sesungguhnya pengalaman pahit ini adalah pengalaman dan pelajaran terbaik bersama Tuhan; yang tak akan terganti dengan 1000 pengalaman manis lainnya. Pengalaman ini memang tidak nyaman. Tak dapat mengandalkan lagi kehadiran teman untuk berbagi, inisiatif sahabat untuk menemani, ataupun nasihat pembimbing untuk hal yang lebih baik. Ada satu titik, ketika kita mencari semua hal itu dan tidak ada satupun yang kita dapatkan. Hati ini seperti ingin menyalahkan kondisi yang ada dan bertanya, “Mengapa kalian tidak ada?” Tak sadar bahwa dalam kondisi terberat seperti ini, manusia menjadi makhluk yang egois dan kemudian mendakwa orang lain juga egois. Semuanya terlihat rumit sekarang.

Tetapi, inilah masa menikmati kehadiran Tuhan sebagai satu-satunya Bapa, Gembala, Sahabat, dan Guru. Inilah saat dimana kita mengingat akan kedaulatan dan pemeliharaan-Nya yang besar. Orang lain dapat pergi meninggalkan kita, memandang kita lemah dan menilai kita bodoh. Tetapi Kristus adalah Kawan yang sejati dan setia mendampingi kita. What a Friend we have in Jesus.

No comments:

Post a Comment