Tulisan ini secara khusus diberikan pada saya oleh Diannita Dwi Pujiastuti Gazalie, saudari saya di dalam Tuhan. Merupakan suatu berkat bagi saya bisa mengenalnya secara pribadi selama 4 tahun masa kuliah. Melalui Diannita, saya melihat sosok seorang perempuan yang berdoa. Saat ini Diannita melayani sebagai guru di UPH College. Ia aktif melayani Tuhan dan suka menulis untuk berbagi berkat dengan orang-orang di sekelilingnya. Selamat membaca dan merasa terberkati.
Kehidupan itu perlu dinamika. . .
DINAMIKA adalah salah satu pelajaran yang menarik sewaktu
SMA (dan sekarang juga). Dinamika membahas tentang mengapa suatu benda itu
bergerak. Suatu benda yang memiliki massa (mass) bergerak karena pasti ada
paksaan (force) yang bekerja. Ketika ia bergerak maka ia akan menghasilkan
percepatan (acceleration) dan mengalami
perpindahan (displacement). Lalu Newton merumuskannya menjadi a= (∑▒F)/m
Kehidupan itu perlu sebuah dinamika. Kehidupan yang
sekedar diam atau bergerak konstan atau tetap-tetap saja, itu sepertinya kurang
menarik sekalipun banyak yang menyukainya. Pada akhirnya pun sebuah paksaan
(force) bekerja pada hidup kita. Paksaan itu mungkin tantangan dan pergumulan
kehidupan. Saat hal itu datang dalam hidup kita, maka mau tidak mau kita harus
bergerak. Sebagian orang menghadapinya dengan ringan sehingga ia lebih mudah
bergerak, menyesuaikan diri, dan mencapai perpindahan dengan lebih cepat.
Sebagian orang lainnya menghadapinya dengan berat sehingga ia lebih sulit
bergerak, sulit menyesuaikan diri dan mencapai perpindahan dengan lebih lambat.
Nampaknya Newton betul-betul mengerti tentang kehidupan. Entah cepat atau
lambat, kedua macam orang itu akhirnya pun tetap bergerak dan berpindah. Ketika
kita bergerak, kita tak mungkin tetap di titik yang sama. Kita harus berpindah.
Perpindahan adalah hal yang pasti...
Perpindahan bagi sebagian orang bukanlah hal yang
menyenangkan. Beberapa orang menolak perpindahan dalam sebuah kehidupan,
menolak adanya paksaan perubahan dalam hidup.
Dalam karyanya “Manusia Setengah Salmon”, Raditya Dika berkata “Hidup
penuh dengan ketidakpastian, tetapi perpindahan adalah salah satu hal yang
pasti”. Sekeras apapun saya menolak, perpindahan adalah satu hal yang pasti dan
tak mungkin terelakkan. Inilah kondisi yang Tuhan berikan dalam hidup manusia
bahkan sejak lahir.
Setelah 9 bulan seorang bayi menginap di ‘hotel’
termewah, ia mau tak mau harus berpindah dari rahim ibunya ke dunia ini.
Setelah 4 atau 5 tahun, seorang balita bermain-main di rumah, ia akhirnya
‘dipaksa’ oleh orang tuanya untuk belajar dan bermain di TK. Setelah 2 tahun
belajar di TK, ia mau tak mau harus naik ke SD, lalu SMP, dan SMA. Ketika lulus
SMA, ia juga harus berpindah ke pola hidup yang baru, belajar lagi di bangku
kuliah atau bekerja. Lihatlah, perpindahan itu adalah suatu hal yang pasti dan
tak terelakkan.
Pengalaman ini pasti datang...
Perpindahan bukanlah hal yang selalu menyenangkan.
Apalagi jika harus dipaksa keluar dari kondisi nyaman kita dan ditambah lagi
jika harus melaluinya sendirian. Tentu, hal ini tidak mudah. Tetapi, Oswald
Chambers, penulis buku “My Utmost for His Highest” menuliskan suatu renungan
berjudul “This Experience Must Come” (Pengalaman Ini Pasti Datang). Pengalaman
apakah itu? Pengalaman hidup tanpa teman, pembimbing dan pemimpin pasti akan
datang dalam suatu masa kehidupan kita. Renungan itu mengambil perikop bacaan 2
Raja-raja 2:1-25 tentang kisah Nabi Elia terangkat ke sorga disaksikan oleh
Elisa. Sepanjang hidupnya Elisa hidup dekat dengan Elia. Elia adalah teman,
mentor/pembimbing dan pemimpin rohani bagi Elisa. Elisa hidup mengikuti dan
menyaksikan bagaimana Elia hidup, melayani serta menghadapi tantangan
kehidupan. Mungkin ada berbagai hal yang Elia ambil untuk hadapi dan membiarkan
Elisa melihat dan belajar. Akan tetapi, pengalaman
itu pasti datang yaitu saat Elia pergi meninggalkan Elisa dan ia harus
menjalani perannya tanpa seorang Elia.
Sekitar 2 tahun lalu, seorang pengkotbah berbicara
tentang hal ini di sebuah persekutuan anak muda. Ia mengatakan dengan begitu
yakinnya, “Suatu hari nanti saat kamu memasuki dunia kerja, akan tiba masanya
kamu harus melalui segala sesuatu sendirian. Saat seolah-olah tidak ada teman,
pembimbing dan pemimpin rohani bagimu.” Beberapa minggu kemudian, ada seorang alumni
yang memberikan kesaksian di mimbar, betapa ia merasa kehilangan komunitas,
teman dan pembimbing saat ia sudah bekerja. Ia terlihat begitu merindukan
kehadiran teman, komunitas dan pembimbing. Seolah menjadi konfirmasi bahwa
pengalaman ini pasti akan datang dan tak terelakkan.
Oswald Chambers menulis dalam renungannya, ”Tidak ada
yang salah saat kamu bergantung pada ‘Elia’-mu sepanjang Tuhan memberikannya
padamu. Tetapi ingat bahwa masanya akan datang ia harus meninggalkanmu dan
tidak lagi menjadi penuntun dan pemimpinmu, karena Tuhan tidak berkehendak
untuk ia tetap tinggal. Bahkan ketika hal ini membuatmu berpikir, “Aku tidak
dapat melanjutkan ini tanpa ‘Elia’-ku”, saat itu pun Tuhan tetap berkata bahwa
kamu harus melanjutkannya”. Siapakah ‘Elia’ itu dalam kehidupan ini? Orang tua?
Teman-teman? Kekasih? Mentor?
Pengalaman keterpisahan...
Akan tiba masa dalam hidup umat manusia, ketika sejenis
keterpisahan itu melanda. Saat kita kehilangan persahabatan/kebersamaan
(fellowship) dengan orang yang selama ini menolong dan menopang hidup kita.
Secara eksistensi mungkin mereka ada, tetapi sebuah hubungan kebersamaan yang
kita butuhkan mungkin itu sudah tak lagi sama. Saat biasanya mereka mengambil
peran dan melakukan beberapa hal untuk menolong kita, namun kini kita harus
melakukan semuanya seorang diri. Di saat seperti ini, tidak ada gunanya lagi
berkata, “Aku tidak mau menjalaninya” karena pengalaman telah datang dan mau
tak mau kita harus pergi dan berpindah.
Pengalaman ketidakberdayaan...
Pengalaman ini pun datang saat kita tidak lagi mempunyai
daya (power) untuk mengatur, mengontrol, dan menopang hidup kita sendiri. Ada
masanya semuanya seolah berantakan dan kita seperti hanya bisa melihat dan tak
mempunyai kekuatan untuk memperbaikinya. Seolah hanya mampu menitikkan air mata
sebagai bentuk ekspresi ketidakberdayaan. Engkau berseru minta tolong namun
seolah-olah tak ada satupun yang mampu menolongmu atau memberikanmu tambahan
daya atau kekuatan. Di saat seperti itu, terimalah
dan rangkullah ketidakberdayaan itu sebagai teman dan bukan lawan. Berdiamlah
dan rasakanlah Pribadi yang paling mampu memulihkan.
Pengalaman kebodohan...
Inilah masa yang orang terpandai pun pasti akan
mengalaminya. Saat semua pemikiran yang kita anggap baik tak lagi bijak. Saat
semua niat yang tulus menuai salah paham. Saat setiap kata-kata mudah
disalahpahami sejelas apapun disampaikan. Saat orang lain menganggap kita tak
lagi dewasa dan tak lagi berhikmat. Seketika, kita menjadi panik dan berpikir
mengapa menjadi demikian. Sungguh seperti orang bodoh rasanya. Saat semua
hikmat kepandaian manusia berakhir inilah awal dari hikmat Allah tercurah. Inilah
masa kita mengingat lagi kehidupan doa. Bertekun dalam waktu hening mencari
Tuhan dan segala hikmat-Nya sebab kita sadar kita bodoh tanpa-Nya.
Pengalaman terbaik bersama Tuhan...
Tetapi sesungguhnya pengalaman pahit ini adalah
pengalaman dan pelajaran terbaik bersama Tuhan; yang tak akan terganti dengan
1000 pengalaman manis lainnya. Pengalaman ini memang tidak nyaman. Tak dapat
mengandalkan lagi kehadiran teman untuk berbagi, inisiatif sahabat untuk menemani,
ataupun nasihat pembimbing untuk hal yang lebih baik. Ada satu titik, ketika
kita mencari semua hal itu dan tidak ada satupun yang kita dapatkan. Hati ini seperti
ingin menyalahkan kondisi yang ada dan bertanya, “Mengapa kalian tidak ada?”
Tak sadar bahwa dalam kondisi terberat seperti ini, manusia menjadi makhluk
yang egois dan kemudian mendakwa orang lain juga egois. Semuanya terlihat rumit
sekarang.
Tetapi, inilah masa menikmati kehadiran Tuhan sebagai
satu-satunya Bapa, Gembala, Sahabat, dan Guru. Inilah saat dimana kita
mengingat akan kedaulatan dan pemeliharaan-Nya yang besar. Orang lain dapat
pergi meninggalkan kita, memandang kita lemah dan menilai kita bodoh. Tetapi
Kristus adalah Kawan yang sejati dan setia mendampingi kita. What a Friend we have in Jesus.
No comments:
Post a Comment