The Diary of a Chosen Principal: Defined by His Grace
Begitu terpilih menjadi kepala sekolah baru, aku kembali mengalami krisis jati diri.
Aku berulang kali bertanya pada diri sendiri: sebenarnya aku ini siapa? Aku orang seperti apa? Mengapa aku? Bagaimana mungkin aku bisa?
Pertanyaan-pertanyaan itu berulang tanpa henti di kepalaku, dalam percakapan dengan suami, dan dalam sesi-sesi konseling. Aku mulai melakukan semacam background check terhadap diriku sendiri. Aku menimbang ulang perjalanan hidupku, kemampuanku, kepribadianku.
Aku mempertanyakan panggilan ini. Aku mempertanyakan pengurapan ini. Aku mempertanyakan keputusan yayasan.
Dan, dengan jujur, aku juga mempertanyakan Tuhan.
Bukan karena aku tidak percaya, tetapi karena aku ingin mengerti:
Apa yang Tuhan lihat dalam diriku, yang sering kali bahkan tidak kulihat sendiri?
Aku ingat pernah meminta izin untuk melihat hasil psikotestku.
Aku ingin tahu: sebenarnya siapa diriku? Apa yang membuatku terpilih?
Di sana tertulis dengan jelas bahwa aku direkomendasikan untuk menjadi kepala sekolah. Ada penjelasan tentang kepribadianku, karakterku, gaya kepemimpinanku. Semuanya tampak meyakinkan di atas kertas, dan mungkin juga di hadapan setiap orang yang berwenang membacanya.
Namun entah mengapa, hatiku tetap belum tenang.
Somehow, I didn’t think the result was excellent enough.
Pertanyaan itu masih mengendap: Why me?
Jawaban Tuhan tidak datang sekaligus. Ia datang pelan-pelan, dengan cara yang lembut.
Melalui Firman-Nya.
Melalui sesi konseling.
Melalui percakapan sederhana namun jujur dengan suamiku.
Tuhan menolongku melihat satu hal yang selama ini luput kusadari:
cara pandangku terhadap diriku sendiri tidak sepenuhnya benar.
Sering kali aku membiarkan pikiranku dan juga pendapat orang lain menentukan siapa diriku. Aku terlalu mudah mempercayai penilaian manusia, termasuk penilaianku sendiri. Padahal bagaimana mungkin manusia berdosa mampu mendefinisikan manusia berdosa lainnya, atau bahkan dirinya sendiri, dengan tepat?
Konselorku pernah bertanya,
“Memangnya kenapa kalau kamu terpilih? Apa yang kamu takuti?”
Pertanyaan itu membuatku berhenti sejenak dan berpikir.
Aku menyadari bahwa yang sebenarnya kutakuti adalah gagal.
Beliau lalu bertanya lagi,
“Memangnya kenapa kalau gagal?”
Kegagalan itu manusiawi. Wajar.
Bukankah Tuhan juga mengetahui dengan sangat baik bahwa aku memiliki banyak kelemahan? Dia tahu seluruh keterbatasanku mulai dari pengalaman, latar belakang, usia, dan proses yang masih panjang. Risiko kegagalan itu nyata, dan Tuhan mengetahuinya.
Jika Tuhan tetap memilihku, berarti Dia sudah memperhitungkan semuanya—termasuk keterbatasanku, kesalahanku, dan kemungkinan aku jatuh bangun dalam proses ini.
Di situlah Tuhan mulai meluruskanku.
Identitasku tidak pernah dimaksudkan untuk ditentukan oleh hasil tes, pencapaian, atau persepsi manusia.
Identitasku ditentukan oleh Dia yang menciptakanku dan memilihku—oleh kasih karunia-Nya semata.
Tuhan tidak memilihku karena aku adalah the best candidate di mata manusia. Mereka yang menunjukku menjadi kepala sekolah bahkan tidak mengenalku secara pribadi. Mereka melihat hasil psikotest, data, wawancara, dan berbagai informasi lain. Namun satu hal yang pasti: mereka menerima tuntunan dari Tuhan.
Dalam pengaturan-Nya, aku adalah orang yang tepat, pada waktu yang tepat, di tempat yang tepat.
I might not be fit in the eyes of others—even in my own eyes.
But God never makes mistakes.
It's only by His grace that I'm chosen.
And by grace alone, I can be the principal He wants me to be.
Jauh sebelum orang lain dan aku meragukan diri sendiri, Tuhan sudah berfirman lebih dulu. Supaya tidak ada orang yang memegahkan diri di hadapan Allah. Baik orang lain maupun diriku sendiri.
1 Korintus 1:27-29 (TB)
“Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusia pun yang memegahkan diri di hadapan Allah.”
Comments
Post a Comment