The Diary of a Chosen Principal: Unchanging God in a Changing Life
Beberapa kali aku tanya ke diri sendiri, "Ini beneran aku jadi kepsek?"
Jangankan orang lain, aku sendiri kaget.
Kaget yang cukup berkepanjangan. Tiba-tiba hampir seluruh aspek hidupku berubah.
Jangankan orang lain, aku sendiri kaget.
Kaget yang cukup berkepanjangan. Tiba-tiba hampir seluruh aspek hidupku berubah.
Kebiasaan-kebiasaanku berubah di sekolah. Mau ga mau. Suka tidak suka.
Aku ga lagi mengajar secara rutin. Ga lagi punya kelas khusus.
Aku ga lagi mengerjakan pekerjaanku yang biasa.
Aku ga lagi mengerjakan pekerjaanku yang biasa.
"Sekarang sering telat makan siang ya, Miss," komentar ibu kantin. Beberapa kali beliau sudah hampir pulang ketika aku justru baru tiba di sana. Jam makan siang tidak lagi sama seperti dulu.
Dulu aku datang pada jam yang sama, bersama beberapa rekan guru.
Sekarang aku ke kantin pada jam hampir tutup, sering sendiri.
Sekarang aku ke kantin pada jam hampir tutup, sering sendiri.
Dulu rasanya aku punya waktu lebih panjang untuk duduk di depan laptop dan menyelesaikan pekerjaanku. Sekarang? Waktu rasanya berjalan terlalu cepat untuk aku yang masih pelan-pelan menerima kenyataan dan sedang beradaptasi.
Ada beberapa hal yang baru. Ada beberapa hal yang bikin aku penasaran dan excited. Ada orang-orang baru. Ada rapat-rapat yang baru. Ada tempat-tempat baru yang harus kukunjungi. Tentunya juga ada masalah-masalah baru, atau masalah lama yang mencuat jadi baru karena sekarang aku jadi pemimpin baru.
Perubahan tidak hanya terjadi di sekolah. Dalam hidup pribadi juga.
Dulu aku pulang sebelum suami. Sekarang suami yang duluan sampai rumah.
Dulu rasanya aku masih punya energi untuk olahraga bareng suami selesai dinner, sepulang kerja. Sekarang jelas tidak.
Dulu aku bisa santai di tempat tidur bersama suami pada Sabtu pagi, tapi belakangan ini sering tidak ada beda antara Sabtu pagi dan pagi-pagi lainnya. Aku harus ke sekolah.
Dalam sebulan, waktu berkualitas bersama suami jadi berubah. Makin sedikit.
Dalam sebulan, waktu berkualitas bersama suami jadi berubah. Makin sedikit.
Bersyukur suamiku yang pemalu dan enggan ikut retreat atau seminar tahun ini bersedia. Akhir Juli kami pergi ikut retreat Marriage Enrichment. Baru deh sadar, kalau aku ga tetapkan batasan dan membiarkan perubahan mengambil alih, pernikahanku bisa terancam.
Retreat ini merupakan sebuah tindakan preventif dari Tuhan supaya pernikahanku tidak ikutan berubah karena jabatan yang baru. Tuhan Yesus tidak berubah. Dulu Dia selamatkanku, sekarang Dia selamatkan pernikahanku juga.
Tubuhku ternyata ga kuat dengan banyaknya perubahan. Batuk pilek berkepanjangan disertai demam berubah jadi ISPA. Leukosit naik melebihi batas normal. Ada peradangan, infeksi dalam tubuh. Ditambah tipes ringan, mungkin karena stress atau psikosomatis.
Awal Agustus aku ga bisa tidur dua malam. Senin pertama pada bulan Agustus ini, pagi-pagi aku ke IGD dan langsung disuruh rawat inap oleh dokter.
Ingatanku melayang pada peristiwa rawat inap beberapa tahun lalu:
- Agustus 2022, diisolasi karena covid. Bertepatan dengan saat aku baru jadi wakil kepala sekolah
- Entah bulan apa setelah nikah, rawat inap karena kena virus sesaat setelah suami kena DB. Saat itu tempat kerjaku baru, status baru nikah, tempat tinggal juga baru.
- Agustus atau September 2016, masuk RS karena mendadak sakit kepala bagian belakang pada saat pulang kerja sampai tengah malam. Barusan jadi Team Leader di sekolah.
- Oktober 2013, rawat inap karena tipes. Tahun itu aku baru kehilangan Papa, baru pertama kali kerja jadi guru.
Ternyata ada pola yang sama, yang selalu muncul. Setiap loncatan peran besar, setiap perubahan drastis, tubuhku ikut tumbang. Aku berubah. Hidupku berubah. Tapi justru di situlah aku sadar: dalam setiap musim kehidupan, Tuhan tidak pernah berubah.
Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya. (Ibrani 13:8)
Comments
Post a Comment