"I wish I could play in the playground..."
Saya mendongak ketika seorang gadis kecil, salah seorang siswa saya yang paling pendiam, mengatakan kalimat tersebut. Sudah sebulan lebih, sekitar 5 minggu ini saya tidak mengajak anak-anak bermain di luar karena tebalnya asap di kota Palembang. Saya melihat keluar jendela sekilas sebelum menyahut, "Me too."
Tahun ini intensitas asap memang jauh lebih tebal. Sudah termasuk kategori yang sangat berbahaya. Batas normal konsentrasi partikular (PM10) adalah 150 ugram/m3. Sementara siang tadi peningkatannya sudah mendekati angka 800. Menggelisahkan.
Sudah hampir 6 minggu ini saya sakit batuk-batuk juga, sampai sesak napas, bahkan nyeri dada. Amandel meradang, bahkan masih tetap bengkak walaupun sudah tidak sakit lagi. Antibiotik, obat batuk, jeruk nipis, madu, sampai kumur-kumur air garam juga tidak mempan. "Nggak papa," kata dokter. "Cuma alergi asap. Nanti kalau obat sudah habis masih belum sembuh, balik lagi aja, kita ronsen dada." Saya menghembuskan napas dengan rasa tidak puas. Apanya yang nggak papa? "Amandelnya masih sakit nggak? Coba ke dokter THT, mungkin perlu operasi." Saya menatapnya dengan jengkel, yakin betul tidak butuh operasi amandel.
Berkali-kali terbesit pikiran untuk meninggalkan kota ini. "Coba kalau sekarang aku pulang, pasti langsung sembuh. Pasti." Tapi ternyata melakukannya tidak semudah memikirkannya. Mengatakannya lebih mudah, namun menambah kesusahan dalam hati. Mendengar orang lain mengatakannya seperti menambah titik api yang memicu kemarahan.
"Tulis surat lah ke yayasan. Minta pindah."
"Setiap hari Mama kuatir sama kamu."
"Kamu tuh harusnya tulis petisi, ajak guru-guru lain juga. Kalau cuma satu orang yang komplain apa artinya? Harus sepakat semuanya."
"Iya tahu. Harusnya kita itu menyamakan suara."
"Iya nih, kita butuh evakuasi."
"Memangnya pemerintah akan bilang, 'ayo evakuasi' gitu? Nggak mungkin!"
"Kemarin aja bandara lumpuh. Si Esmeralda belum balik-balik dari Jakarta. Gimana mau terbang? Asepan gitu."
"Kalau gini ceitanya gua ga mau balik lagi ke Palembang. Bodo amat!"
Entahlah. Saya tidak tahu harus berbuat apa. Rasanya supply oksigen ke otak juga sudah berkurang. Mikir aja susah. Sepertinya ada asap yang bukan saja mengganggu pernapasan, tapi juga pikiran dan hati. Setiap kali membawa perkara ini dalam doa, saya tidak tahu lagi harus berkata apa. Doakan pemerintah sudah, doakan supaya pelaku pembakaran ditangkap dan diganjar hukuman seberat-beratnya juga sudah. Doa minta hujan pun sudah. Apa lagi? Dunia saya makin berkabut. Makin sulit untuk melihat dengan jelas ketika kabut asap menghalangi pemandangan. Berkat dan anugerah Tuhan pun makin kabur kelihatannya.
Saya membuka map folder absensi siswa dan mengisinya. Dua siswa tidak masuk. Yang satu sakit gondongan, yang lain "diliburkan" oleh orang tuanya karena asap tebal. Sementara itu tiga siswa lain ngotot minta masuk sekolah sekalipun sudah tidak enak badan. "Kalau nanti kenapa-kenapa, tolong telepon ya, Miss. Biar bisa saya jemput." Sepanjang ingatan saya mereka kelihatan baik-baik saja, cukup ceria di sekolah.
Saya teringat percakapan di telepon beberapa hari lalu dengan Mama.
"Anak-anak di sekolah sehat?"
"Sehat tuh," jawab saya. "Kayaknya cuma gurunya yang sakit (batuk-batuk)." Bukankah ini pun berkat perlindungan, kekuatan, dan kesehatan dari Tuhan? Anak-anak yang tubuhnya lebih kecil dan rentan penyakit justru sehat-sehat. Gurunya yang batuk-batuk selama 6 minggu juga masih bisa mengajar.
Lalu saya merasa Roh Kudus mengingatkan.
"Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu." -1 Tesalonika 5:18
Saya menghela napas dan menghembuskannya lagi. Tolong saya ya, Tuhan. Tolong saya untuk mengucap syukur dalam kota yang berasap ini, batuk yang tak kunjung henti, dan sesaknya dada karena menghirup asap.
1 comment:
I feel you T_T Di sini juga parah banget asapnya.
Post a Comment