Baru- baru ini, tempat kami dihebohkan dengan berita
meninggalnya salah seorang orang tua murid. Setiap orang yang mendengar berita
ini turut berduka bahkan cenderung iba mendengarnya. Betapa tidak, anaknya yang
bersekolah di tempat kami baru berusia 2,5 tahun. Bicara dan berjalan saja
belum sempurna betul, namun dalam usia sedini itu ia harus kehilangan sosok
paling signifikan dalam hidupnya, papa. Ya, ayahnya meninggal dalam usia yang
masih begitu muda. Untuk seorang pria berusia 30 tahun, tentu ia masih punya
begitu banyak hal untuk diimpikan. Impiannya buyar seketika, ketika kurang
lebih 7 bulan sebelum ia meninggal dokter memberikan vonis bahwa ia terjangkit
suatu virus yang menyerang bagian saraf yang akan melemahkan seluruh jaringan
dalam tubuhnya, dan pada akhirnya menyerang otak. Virus ini amat langka, konon
baru empat orang yang terdeteksi terjangkit virus ini, dan bapak ini salah
satunya. 4 Profesor yang ia datangi untuk untuk konsultasi memvonis dirinya
hanya berumur 2 tahun lagi. Namun Allah berkehendak lain, kesehatannya memburuk
sangat cepat. Keadaannya diperburuk dengan keengganannya mengkonsumsi obat-
obatan. Ia bertahan dengan penyakit yang membuat dirinya sekurus tulang, tidak
bisa berjalan atau bahkan duduk. Akhirnya dalam tujuh bulan, bapak ini
meninggal. Ia meninggalkan seorang istri yang berusia sekitar 27 tahun, dan
seorang anak laki- laki 2,5 tahun.
Mendengar kisah ini, hati saya terenyuh. Yang saya pikirkan
adalah bagaimana nasib istri dan seorang anak yang ia tinggalkan begitu cepat.
Mengapa agaknya Allah begitu tidak adil, bukankah Ia tau betul bahwa keluarga
ini masih terlalu muda? Apakah Ia tidak mengerti bahwa seorang anak berusia 2,5
tahun butuh figur seorang ayah untuk berkembang secara emosional dengan
sempurna? Masakan ia tidak kasihan melihat seorang wanita, masih berusia 27
tahun harus berjuang menjadi single parent? Namun ketika baru saja berpikir
sedemikian rupa, hati saya bergeming mendengar cerita dari seorang rekan guru
yang baru pulang melayat.
Bagaimana kondisinya? Pertanyaan itu terlontar dari mulut
beberapa orang yang berada di ruangan itu. Mungkin rasa penasaran dan iba
bercampur menjadi satu dalam nada pertanyaan itu. Kemudian rekan saya mulai
bercerita. Banyak orang yang berupaya menghibur wanita muda yang baru saja
ditinggalkan suaminya ini. Mungkin dengan pernyataan klasik seperti: “yang
sabar ya”, ‘yang kuat ya”. Tidak diduga, wanita ini mampu menjawab dengan satu
kalimat yang singkat namun dalam. ”Gapapa, ada Yesus koq”. , ujarnya. Kalimat
ini mengalir dari mulutnya diiringi senyuman yang penuh kekuatan.
Awalnya saya berpikir bisa jadi kalimat ini adalah sebuah
bentuk pertahanan diri untuk tidak perlu dikasihani, namun, kalimat “Gapapa,
ada Yesus koq” buat saya lebih dari sekedar bentuk pertahanan diri. Sebaliknya,
perkataan ini meruntuhkan pertanyaan- pertanyaan saya semenit yang lalu yang
berlagak mempertanyakan kebaikan dan keadilan Tuhan. Bagaimana bisa kalimat ini
mengalir dari mulutnya ketika ia melihat jasad suaminya di depan matanya?
Bagaimana bisa ia bisa berujar “gapapa” ketika ia diperhadapkan dengan masa
depan yang penuh dengan ketidak pastian? Bagaimana ia bisa terus berharap
kepada Yesus, ketika seluruh harapannya untuk kesembuhan suaminya disembelih
pelan- pelan selama 7 bulan ini? Jawabannya singkat, wanita ini percaya akan
penyertaan Tuhan.
Kalimat “Gapapa, ada Yesus Koq” menggambarkan bahwa di dalam
Allah selalu ada pengharapan. Juga menggambarkan bahwa ia percaya adanya
jaminan bahwa Yesus menyertai. Kalimat ini juga menggambarkan kekuatan yang
diberikan roh Kudus untuk menghadapi masa- masa paling sulit dalam hidupnya. Di
atas segalanya, kalimat ini melukiskan bahwa ia percaya penuh pada Yesus
sebagai pemegang tertinggi otoritas kehidupan. Serentak saya teringat mazmur paling indah yang pernah
ditulis Daud. “Sekalipun aku berjalan dalam lembah bayang- bayang maut, aku
tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku.” Wanita ini menghidupi mazmur
inidalam hidupnya. Nyanyian Daud ini mengalun lembut dalam hatinya ketika ia
harus menghadapi masa terberatnya. Ya! Allah sedang bekerja.
Kemudian saya bertanya dalam hati, bagaimana dengan saya?
Sudahkah saya membiarkan diri saya tenang dalam jaminan yang Tuhan berikan
tentang hari depan saya? Seketika saya menyadari bahwa terkadang terlalu banyak
pertanyaan yang saya lontarkan kepada Tuhan. Janji tentang masa depan yang
penuh harapan tidak cukup bagi logika saya. Saya menjadi terlalu sering kuatir
dan bertanya- tanya. Saya menyadari terlalu sering saya mempertanyakan
penyertaan Tuhan. Terlalu sering saya tidak mempercayai Bapa kita untuk
mengatur kehidupan saya. Terlalu sering saya merasa berjalan sendiri ketika
sesungguhnya Yesus berjalan di jalan yang sama dengan saya. Terlalu sering saya
menjadi terlalu kuatir akan masa depan dan mempertanyakan eksistensi Tuhan.
Saya tersentak begitu rupa ketika menyadari betapa bodohnya
saya. Kemudian ada satu suara Ada suatu suara yang menantang saya, untuk juga berkata “ Gapapa ada Yesus koq.”
Seharusnya saya menegaskan kalimat itu setiap kali kekuatiran datang merusak
damai sejahtera saya. Seharusnya saya mengulang kalimat ini setiap kali saya
merasa tidak punya iman untuk melihat masa depan yng Tuhan rancangkan.
Seharusnya saya meluncurkan kalimat ini setiap kali saya perlu jaminan Tuhan.
Saya belajar dan berkomitmen untuk mengatakan pernyataan ini
setiap kali masalah datang dan menghimpit saya. Mari lagukan juga pernyatan ini
setiap kali masalah dan tekanan datang. “Gapapa, ada Yesus koq”. Kalimat ini
menandakan bahwa anda percaya bahwa Yesus baik dan ia bertanggung jawab atas
hidup anda. Kalimat ini menandakan ketenangan karena hidup kita berada di
tangan yang benar. Kalimat ini menandakan harapan, bahwa Tuhan merangkan segala
sesuatu untuk kebaikan. Ya, bukan karena semuanya berjalan dengan baik, tapi
karena anda mempercayai Dia.
Mari, dalam kondisi seberat apapun, bahkan ketika ada begitu
banyak pertanyaan yang tidak bisa terjawab, atau kekuatiran yang teramat sangat
tentang masa depan, belajarlah untuk berkata “gapapa, ada Yesus koq”. Saya
percaya, Allah akan tersenyum mendengarnya.
19 September 2012
Batam, kota yang mengajarkan saya bertumbuh dalam banyak hal.
Kenia Oktavianie
No comments:
Post a Comment